Wajah Yang Bercahaya

Bagaimanakah ciri-ciri orang yang bakal masuk Surga atau masuk Neraka? Salah satunya digambarkan Allah lewat idiom cahaya. Orang-orang yang beriman dan banyak amal salehnya, kata Allah, akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sebaliknya, orang-orang yang kafir dan banyak dosanya akan 'memancarkan' kegelapan. Hal itu dikemukakan olehNya di ayat-ayat berikut ini:

QS Al Hadiid (57) : 12
"Pada hari dimana kalian melihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya."

QS. Yunus (10) : 27
“… seakan-akan wajah mereka ditutupi oleh kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, mereka itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Kenapakah orang-orang yang beriman dan banyak pahalanya memancarkan cahaya, sedangkan yang banyak dosa 'memancarkan' kegelapan alias kehilangan cahaya?

Ini memang rahasia yang sangat menarik. Allah sangat sering menggunakan istilah cahaya di dalam Al Qur’an. Dia mengatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan Bumi (QS. 24:35). Firman firmanNya juga berupa cahaya (Qur’an QS. 4:174; Taurat QS. 5:44; Injil QS. 5:46). Malaikat sebagai hamba-hamba utusanNya juga terbuat dari badan cahaya. Dan pahala adalah juga cahaya (QS. 57:19). Karena itu orang-orang yang banyak pahalanya memancarkan cahaya di wajahnya (QS. 57:12).

Kunci pemahamannya adalah di Al Qur’an Surat An Nuur: 35. Di ayat itu Allah membuat perumpamaan bahwa DzaNya bagaikan sebuah pelita besar yang menerangi alam semesta. Pelita itu berada di dalam sebuah lubang yang tidak tembus. Tetap di salah satu bagian yang terbuka, ditutupi oleh tabir kaca

Dari tabir kaca itulah memancar cahaya ke seluruh penjuru dunia, bagaikan sebuah mutiara. Pelita itu dinyalakan dengan menggunakan minyak Zaitun yang banyak berkahnya, yang sinarnya memancar dengan sendirinya tanpa disentuh api. Cahaya yang dipancarkan pelita itu berlapis-lapis, mulai dari yang paling rendah frekuensinya sampai yang tertinggi menuju cahaya Allah.

Ayat tersebut memberikan perumpamaan yang sangat misterius tetapi sangat menarik. Dia mengatakan bahwa hubungan antara Allah dengan makhlukNya adalah seperti hubungan antara Pelita (sumber cahaya) dengan cahayanya. Artinya makhluk Allah ini sebenarnya semu saja. Yang sesungguhnya ADA adalah DIA. Kita hanya 'pancaran atau pantulan' saja dari eksistensiNya.

Nah, cahaya yang dipancarkan oleh Allah itu berlapis-lapis mulai dari yang paling jelek (Kegelapan) sampai yang paling baik (Cahaya Putih Terang). Allah telah menetapkan dalam seluruh ciptaanNya itu bahwa Kegelapan mewakili Kejahatan dan Keburukan. Sedangkan Cahaya Terang mewakili Kebaikan.

Maka, kalau kita ingin memperoleh kebaikan dan keberuntungan, kita harus memperoleh cahaya terang. Dan sebaliknya kalau kita mempoleh kegelapan berarti kita masuk ke dalam lingkaran kejahatan dan kerugian.

Yang menarik, ternyata 'cahaya' dan 'kegelapan' itu digunakan oleh Allah di dalam firmannya sebagai ungkapan yang sesungguhnya. Misalnya ayat-ayat yang saya kutipkan di atas. Bahwa orang-orang yang beriman, kelak di hari kiamat, benar-benar akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sedangkan orang-orang kafir, justru kehilangan cahaya alias wajahnya gelap gulita.

Dari manakah cahaya di wajah orang beriman itu muncul? Ternyata berasal dari berbagai ibadah yang dilakukan selama ia hidup di dunia. Setiap ibadah yang diajarkan rasulullah kepada kita selalu mengandung dua unsur, yaitu ingat kepada Allah (dzikrullah) dan membaca firmanNya yang berasal dari KitabNya. Baik ketika kita membaca syahadat, melakukan shalat, mengadakan puasa, berzakat, maupun melaksanakan ibadah haji.

Nah, dari kedua kedua unsur itulah cahaya Allah muncul. Bagaimanakah mekanismenya? Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa Allah adalah sumber cahaya langit dan Bumi. Maka ketika kita berdzikir kepada Allah, kita sama saja dengan memproduksi getaran getaran cahaya. Asalkan berdzikirnya khusyuk dan menggetarkan hati. Kuncinya adalah pada 'hati yang bergetar.’

Hati adalah tempat terjadinya getaran yang bersumber dari kehendak jiwa. Ketika seseorang marah, maka hatinya akan berdegup keras. Semakin marah ia, semakin kencang juga getarannya. Demikian pula ketika seseorang sedang sedih, gembira, berduka, tertawa, dan lain sebagainya.

Getaran yang kasar akan dihasilkan jika kita sedang dalam keadaan emosional. Sebaliknya getaran yang lembut akan muncul ketika kita sedang sabar, tenteram dan damai.

Ketika sedang berdzikir, hati kita akan bergetar lembut. Hal ini dikemukan oleh Allah, bahwa orang yang berdzikir hatinya akan tenang dan tenteram.

QS. Ar Ra’d (13) : 28
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.”

Ketika seseorang dalam keadaan tenteram, getaran hatinya demikian lembut. Amplitudonya kecil, tetapi frekuensinya sangat tinggi. Semakin tenteram dan damai hati seseorang maka semakin tinggi pula frekuensinya. Dan pada, suatu ketika, pada frekuensi 10 pangkat 13 sampai pangkat 15, akan menghasilkan frekuensi cahaya.

Jadi, ketika kita berdzikir menyebut nama Allah itu, tiba-tiba hati kita bisa bercahaya. Cahaya itu muncul disebabkan terkena resonansi kalimat dzikir yang kita baca. lbaratnya, hati kita adalah sebuah batang besi biasa, ketika kita gesek dengan besi magnet maka ia akan berubah menjadi besi magnetik juga. Semakin sering besi itu kita gesek maka semakin kuat kemagnetan yang muncul daripadanya.

Demikianlah dengan hati kita. Dzikrullah itu menghasilkan getaran-getaran gelombag elektromagnetik dengan frekuensi cahaya yang terus menerus menggesek hati kita. Maka, hati kita pun akan memancarkan cahaya. Kuncinya, sekali lagi, hati harus khusyuk dan tergetar oleh bacaan itu. Bahkan, kalau sampai meneteskan air mata.

Unsur yang kedua adalah ayat-ayat Qur’an. Dengan sangat gamblang Allah mengatakan bahwa Al Qur'an ada cahaya. Bahkan, bukan hanya Al Qur’an, melainkan seluruh kitab-kitab yang pernah diturunkan kepada para rasul itu mengandung cahaya.

QS. An Nisaa' (4) : 174
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).”

QS. Al Maa’idah (5 ) : 44
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya …”

QS Al Maa’idah (5 ) : 46
"Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya . . . "

Artinya, ketika kita membaca kalimat-kalimat Allah itu kita juga sedang mengucapkan getaran-getaran cahaya yang meresonansi hati kita. Asalkan kita membacanya dengan pengertian dan pemahaman. Kuncinya, hati sampai bergetar. Jika tidak mengetarkan hati, maka proses dzikir atau baca Al Qur’an itu tidak memberikan efek apa-apa kepada jiwa kita. Yang demikian itu tidak akan menghasilkan cahaya di hati kita.

Apakah perlunya menghasilkan cahaya di hati kita lewat kegiatan dzikir, shalat dan ibadah-ibadah lainnya itu? Supaya, pancaran cahaya di hati kita mengimbas ke seluruh bio elektron di tubuh kita. Ketika cahaya tersebut mengimbas ke miliaran bio elektron di tubuh kita, maka tiba-tiba badan kita akan memancarkan cahaya tipis yang disebut 'Aura'. Termasuk akan terpancar di wajah kita.

Cahaya itulah yang terlihat di wajah orang-orang beriman pada hari kiamat nanti. Aura yang muncul akibat praktek peribadatan yang panjang selama hidupnya, dalam kekhusyukan yang sangat intens. Maka Allah menyejajarkan atau bahkan menyamakan antara pahala dan cahaya, sebagaimana firman berikut ini.

QS. Al Hadiid (57) : 19
“... bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”

Dan ternyata cahaya itu dibutuhkan agar kita tidak tersesat di Akhirat nanti. Orang-orang yang memililki cahaya tersebut dapat berjalan dengan mudah, serta memperoleh petunjuk dan ampunan Allah. Akan tetapi orang-orang yang tidak memiliki cahaya, kebingungan dan berusaha mendapatkan cahaya untuk menerangi jalannya.

QS. Al Hadiid (57) : 28
“…dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu.”

QS. Al Hadiid (57) 13
"Pada hati ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman : "Tunggulah kami, supaya kami bisa mengambil cahayamu."
Dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang, dan carilah sendiri cahaya (untukmu). "Lalu diadakanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa."

QS. Ali lmraan (3) : 106 - 107
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri dan ada Pula yang menjadi hitam muram. 'Ada pun orang-orang yang hitam muram mukanya, (dikatakan kepada mereka) : kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

"Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya.”

Jadi, selain wajah yang memancarkan cahaya, Allah juga memberikan informasi tentang orang-orang kafir yang berwajah hitam muram. Bahkan di QS. 10 : 27 dikatakan Allah, wajah mereka gelap gulita seperti tertutup oleh potongan¬-potongan malam.

Dalam konteks ini memang bisa dimengerti bahwa orang -orang kafir yang tidak pernah beribadah kepada Allah itu wajahnya tidak memancarkan aura. Sebab hatinya memang tidak pernah bergetar lembut. Yang ada ialah getaran-getaran kasar.

Semakin kasar getaran hati seseorang, maka semakin rendah pula frekuensi yang dihasilkan. Dan semakin rendah frekuensi itu, maka ia tidak bisa menghasilkan cahaya.

Bahkan kata Allah, di dalam berbagai firmanNya, hati yang semakin jelek adalah hati yang semakin keras, tidak bisa bergetar. Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, tingkatan hati yang jelek itu ada 5, yaitu : 1. Hati yang berpenyakit (suka bohong, menipu, marah, dendam, iri, dengki disb), 2. Hati yang mengeras. 3. hati yang membatu. 4. Hati yang tertutup. dan 5. Hati yang dikunci mati oleh Allah.

Maka, semakin kafir seseorang, ia akan semakin keras hatinya. Dan akhirnya tidak bisa bergetar lagi, dikunci mati oleh Allah. Naudzu billahi min dzalik. Hati yang:seperti itulah yang tidak bisa memancarkan aura. Wajah mereka gelap dan muram.

QS. Az Zumaar (39) : 60
"Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah, mukanya menjadi hitam."

QS. Al An’aam (6) : 39
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita…”

Seperti yang telah saya kemukakan di depan, bahwa ternyata kegelapan itu ada kaitannya dengan kemampuan indera seseorang ketika dibangkitkan. Di sini kelihatan bahwa orang-orang kafir itu dibangkitkan dala keaaan tuli, bisu, buta, dan sekaligus berada di dalam kegelapan. Sehingga mereka kebingungan. Dan kalau kita simpulkan semua itu disebabkan oleh hati mereka yang tertutup dari petunjuk-petunjuk Allah swt.

QS. Al Hajj (22) : 8
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang bercahaya."

QS. Al Maa’idah (5 ) : 16
“…dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya.”

QS. Al A’raaf (7) : 157
“…dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

QS. An Nuur (24) : 40
“…dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah ia memiliki cahaya sedikit pun.”

QS. At Tahriim (66) : 8
"Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah, dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan para nabi dan orang-orang beriman yang bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan : Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."


Read more: http://cahayamukmin.blogspot.com/2010/09/wajah-yang-bercahaya.html#ixzz2AqiObf2W

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

MANUNGGALING KAWULA GUSTI: 140 AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEIKH SITI JENAR

KHASIAT DALAM SURAH ALI IMRAN

Hizb ut-Tahrir's Manifesto for the Revolution of Al-Sham: Towards the Birth of a Second Rightly-Guided Khilafah