Cara Berhari Raya ala Rasulullah

Oleh Ust. Abu Wildan Hisan, Lc.
Makna Hari Raya
 
Imam Ibnu A’rabi rahimahullah berkata, “Hari raya dinamakan Ied karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Kamus Lisanul Arob: 5). Sedangkan Syekh Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ied adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (Kitab Fathul Majid: 289). Hari Raya Idul Fithri jatuh pada setiap tanggal 1 Syawwal. Hari Raya Idul Adhha jatuh pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Hari Raya dalam Islam
 
Sebetulnya hari raya dalam Islam tidak hanya Idul Fithri dan Idul Adhha yang sifatnya tahunan, tapi ada juga hari raya Jum’at yang sifatnya pekanan. Anas bin Malik radhiyallohu’anh berkata, “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari raya (yaitu Nairuz dan Mahrajan, pen.), yang mana mereka berpesta pora pada hari tersebut.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa yang kalian lakukan di dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami berpesta pora padanya waktu kami masih Jahiliyyah.” Maka Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantinya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adhha dan Idul Fithri.” (HR. Abu Dawud: 1004, dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani).

Hukum Shalat Ied
 
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat. Pertama: Shalat Ied merupakan ibadah sunnah, seandainya orang-orang meninggalkannya maka mereka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumallah.
Kedua: Shalat Ied hukumnya Fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari bermadzhab Hanafi dan Syafi’i rahimahumullah.
Ketiga: Shalat Ied hukumnya Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumallah. Imam Syafi’i (sendiri) mengatakan dalam (buku) Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Lihat Kitab Fathul Bari: 6/ 75-76).

Shalat Ied bagi Musafir
 
Syekh Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan shalat Ied disyaratkan muqim (tidak musafir). Dan ada juga yang mengatakan shalat Ied tidak disyaratkan muqim. Yang benar adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Ied disyaratkan muqim, karena Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Ied…” (Kitab Majmu’ Fatawa: 24/ 177-178).

Mandi Sebelum Shalat Ied
 
Mandi sebelum shalat Ied hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). “Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (HR. Imam Malik dalam Kitab al-Muwaththa` dan Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm).
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiyallohu’anh tentang mandi, maka ‘Ali radhiyallohu’anh menjawab: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia berkata: “Tidak, yang aku maksud mandi besar.” Ali radhiyallohu’anh berkata: “Mandilah hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Baihaqi, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Kitab Irwa-ul Gholil: 1- 176-177).
 
Dari Fakih bin Sa’d bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mandi pada hari jum’at, hari Arafah, hari Idul Fitri dan hari Idul Adha. Dan Fakih (Perawi hadits ini) senantiasa memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari tersebut. (HR. Ahmad).

Memakai Wewangian
 
Setelah mandi besar seperti mandi Junub, dianjurkan untuk memakai parfum (wewangian). “Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Atsar Riwayat al-Firyabi dan Abdur Razzaq).
 
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Ied. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Ied, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia miliki serta memakai wewangian.” (Kitab Syarhus Sunnah: 4/ 303).

Memakai Pakaian yang Bagus
 
Dari Abdullah bin Umar bin Khatthab radhiyallohu’anhuma, bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam, lalu Umar radhiyallohu’anh berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (HR. Bukhari).
 
Dalam kitab Fathul Bari dinukil bahwa Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.”

Makan Sebelum Shalat Ied
 
Anas bin Malik radhiyallahu’anh berkata: “Adalah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam tidak keluar di hari Idul Fithri sebelum beliau makan beberapa kurma”. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: “Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepada-nya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (HR. Bukhari).
 
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Ied, di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Ibnu Abbas radhiyallhu’anhuma.”
Dan sebaliknya, sebelum shalat Idul Adhha kita tidak dianjurkan untuk makan terlebih dahulu. Buraidah radhiyallohu'anh berkata, "Tidaklah Rasulullah berangkat ke shalat hari raya Fithri kecuali beliau makan terlebih dahulu. Dan beliau tidak makan saat berangkat ke shalat hari raya Adhha sampai beliau pulang." (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Memperbanyak Lantunan Takbir
 
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Adalah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani).
 
Syekh al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk me-nampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa me-ngeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara seba-gaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Kitab ash-Shahihah: 1/ 331).

Tempat Shalat Ied
 
Banyak ulama mengatakan bahwa petunjuk Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla. Yang dimaksud mushalla adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
 
Al-Bara’ Ibnu ‘Azib berkata: “Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam pergi pada hari Idul Adhha ke Baqi’, lalu shalat 2 rakaat kemudian beliau menghadapkan wajahnya ke kami seraya bersabda: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih qurban. Siapa yang melaksanakan hal itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (HR. Bukhari).
 
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun yang dimaksud bukanlah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’, dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam shalat Ied di luar Madinah (sampai) di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Ied). Lalu orang-orang sepeninggal beliau juga shalat di tempat itu.” (Kitab Fathul Bari: 6/ 144).
 
Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallohu’anh berkata, “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam dahulu keluar di hari Idul Fithri dan Idhul Adhha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (HR. Bukhari).
Waktu Pelaksanaan Shalat
 
Yazid bin Khumair ar-Rahabi berkata: “Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fithri atau Idhul Adhha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majah).
 
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dimakruhkan shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha. Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Para ahli Fiqih bersepakat bahwa Shalat Ied tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Ied hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” (lihat Kitab Fathul Bari: 2/ 457).
 
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Imam Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Ied kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Ied. Ini menun-jukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (Kitab Fathul Bari: 6/ 105).

Tanpa Adzan dan Iqamah
 
Jabir bin Samurah radhiyallohu’anh berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah dua Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (HR. Muslim). Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallohu ’ahuma berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fithri dan Adhha. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula Iqamah.” (HR. Muslim).
 
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma melakukan Shalat Ied tanpa adzan dan iqamah.” Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Kitab Fathul Bari: 6/ 94).
Seruan Ash-shalatu Jami’ah?
 
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri. Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
 
Namun pendapat yang kuat adalah hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Ied tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Kitab Fathul Bari: 6/ 95).
 
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Ied tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Ied adalah bid’ah, dengan lafazh apapun.” (Ta’liq terhadap Kitab Fathul Bari: 2/ 452).
 
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: Apabila Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak melakukan sesuatu apapun dari (panggilan-panggilan) itu. (Kitab Zadul Ma’ad: 1/ 427).

Cara Shalat Hari Raya\
 
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lain pada umumnya. Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak 7 kali takbir (selain takbiratul ihrom) sebelum memulai membaca surat al-Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar.
 
Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh berkata, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.” [Shahih Fiqh Sunnah, 1/607].
 
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir tambahan) tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.” (HR. al-Baihaqi: 3/ 291).
 
Syekh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan: “Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummagh-firlii war hamnii" (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Berarti bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
 
Keempat: Kemudian membaca al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat lain yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat al-Qomar pada raka’at kedua.
 
Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Khattab pernah menanyakan pada Waqid al-Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat al-Qomar).” (HR. Muslim no. 891)
 
Boleh juga membaca surat al-A’la pada raka’at pertama dan surat al-Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat al-A’la pada raka’at pertama dan surat al-Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at.
 
Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallohu’anh, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘Ied maupun shalat Jum’at, “Sabbihisma robbikal a’la” (surat al-A’la) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat al-Ghosiyah).” An-Nu’man bin Basyir berkata, “Begitu pula ketika hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat”. (HR. Muslim no. 878).
 
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dan yang lainnya). Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua. Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir tambahan) sebanyak 5 kali takbir (selain takbir bangkit dari sujud) sebelum memulai membaca surat al-Fatihah.
 
Kedelapan: Kemudian membaca surat al-Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya seperti gerakan shalat lima waktu hingga tahiyyat akhir dan salam. Kesepuluh: Ikhlaskan niat dalam hati dalam melakukan rangkaian ibadah.
Yang Terlambat (Ketinggalan)
 
Imam Malik rahimahulloh berkata, "Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada raka'at kedua sebelum membaca surat al-Fatihah". (Kitab al-Muwatha': 592 riwayat dari Abi Mush'ab).
 
Dalam Kitab lain Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Orang yang terlambat dari shalat Ied, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Ied. Sebagaimana shalat-shalat lainnya." (Kitab Al-Mughni: 2/212).
Wanita yang Haid
 
Ummu Athiyah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar pada hari Idul Fithri dan Idul Adhha, baik ‘awatiq(wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau menanggapi, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Akan tetapi, wajib bagi mereka (para wanita) untuk keluar dalam keadaan biasa saja, tidak berdandan dan tidak memakai wewangian, sehingga mereka bisa mengerjakan amalan sunnah sekaligus menjauhi fitnah (tidak menimbulkan godaan bagi kaum lelaki, pent.). Adapun yang dilakukan sebagian wanita, seperti berdandan dan memakai wewangian, maka itu merupakan bentuk ketidak-tahuan mereka dan keteledoran para pemimpin mereka. Meskipun demikian, hal ini tidaklah menghalangi hukum syariat yang umum, yaitu perintah agar wanita keluar rumah menghadiri pelaksanaan shalat id.” (Kitab Majmu’ul Fatawa: 16/ 210).
Pulang dan Pergi Shalat Ied
 
Dari Jabir radhiyallohu’anh, ia berkata:” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Ied, beliau mengambil jalan yang berbeda. (HR. Bukhari).
 
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Ied maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Syafi’i dan Ahmad. Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.” (Kitab Fathul Bari: 6/ 166-167).
Bila Ied di Hari Jum’at
 
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Ied berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Ya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Ied lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Siapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).
 
Dari Abu Hurairah radhiyallohu’anh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya, maka siapa yang berkehendak, (Shalat Ied) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Syekh al-Albani).
 
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Ied maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Ied bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Kitab Majmu’ Fatawa: 23/ 211).
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.

Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat Kitab at-Tamhid: 10/ 270-271).
Ucapan Selamat Hari Raya
 
Muhammad bin Ziad rahimahullah berkata,” Saya bersama Abi Umamah al-Bahiliy dan yang lainnya dari para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mereka pulang dari shalat Ied, mereka saling mengucapkan: "Taqoballahu minna wa minkum”, (Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kalian). (HR. Ahmad, dan ia berkata: "Isnad hadits ini bagus").
 
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Ied, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain: “Taqobbalallohu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kalian).” (Kitab Ahkamul ‘Idain: 61, Kitab Majmu’ Fatawa: 24/ 253, Kitab Fathul Bari: 6/ 167-168). Demikian, semoga bermanfaat. Kami ucapkan: Selamat Hari Raya,

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

MANUNGGALING KAWULA GUSTI: 140 AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEIKH SITI JENAR

KHASIAT DALAM SURAH ALI IMRAN

Hizb ut-Tahrir's Manifesto for the Revolution of Al-Sham: Towards the Birth of a Second Rightly-Guided Khilafah