Tiga Kunci Sukses dan Bahagia


Saat ini, hampir semua orang mengejar sukses dan bahagia. Ketika orang yang bekerja keras dari pagi hingga larut malam ditanya, ia menjawab, “agar sukses dan bahagia.” Ketika ada suami yang rela meninggalkan istrinya berbulan-bulan ke luar pulau ditanya, ia juga menjawab, “agar nantinya bisa sukses dan bahagia.”

Yahya bin Mu’adz ar-Razi pernah memberikan nasihat tentang kunci sukses dan bahagia. “Sungguh beruntung,” kata Ar-Razi, “orang yang meninggalkan harta sebelum harta meninggalkannya, membangun kuburan sebelum ia memasukinya, dan membuat ridha Tuhannya sebelum ia menemuiNya.”

Nasihat Ar-Razi ini begitu dalam, dan patut menjadi bahan renungan untuk mengevaluasi langkah-langkah kita selama ini. Mulai dari tujuan akhir. Yakni sukses dan bahagia yang hakiki. Sukses sebagai hambaNya yang berujung surga, bahagia selamanya berada di tempat kembali yang sangat mulia. Dan karena kebahagiaan itulah yang hakiki, ia pun mulai terasa sejak di dunia ini.

Meninggalkan harta sebelum harta meninggalkan kita
Artinya bukanlah menjauhi harta atau tidak berusaha untuk kaya. Bukan, bukan demikian. Namun maknanya adalah zuhud; meletakkan harta di tangan, bukan membiarkannya berkuasa di hati. Mendapatkan harta, lalu memanfaatkannya untuk beribadah, berinfaq, berjihad dan berdakwah.

Meninggalkan harta sebelum harta meninggalkan kita, artinya kita membelanjakan harta di jalan Allah sebelum harta itu lenyap dari kita. Apa yang kita infakkan itulah sebenarnya harta kita. Seberapa harta yang kita salurkan untuk amal kebajikan dan membantu sesama, itulah nilai kemanfaatan harta kita. Maka dalam Islam, tidaklah penting seberapa orang itu kaya, tetapi yang penting adalah seberapa besar kemanfaatan kekayaannya untuk Islam. Makanya ada sahabat yang kaya dan ada sahabat yang tidak punya. Allah tak pernah mencela keduanya.

Terdapat korelasi yang positif antara memberi/berbagi dengan perasaan bahagia. Penelitian menunjukkan hal itu. Sungguh sebuah kabar gembira di dunia sebelum sukses dan bahagia abadi di akhirat nanti.

Membangun kubur sebelum memasukinya
Manusia pernah hidup di alam rahim selama sekitar Sembilan bulan. Lalu rata-rata orang hidup di alam dunia selama sekitar 60 tahun. Setelah itu ia berada di alam kubur. Lamanya bisa bermacam-macam, terbentang sejak kematiannya hingga kiamat tiba. Mereka yang meninggal pada tahun 1012, misalnya. Berarti telah menghuni alam kubur selama 1000 tahun.

Alam kubur yang demikian panjang masanya haruslah disiapkan bekal sejak dini di dunia. Itulah makna membangun kubur sebelum memasukinya. Menyiapkan bekal untuk perjalanan yang sangat lama. Bekalnya tak lain adalah ketaatan dan amal shalih.

Saat seseorang menyiapkan diri membangun kubur dengan ibadah dan kebaikan, ia telah sadar bahwa ke sana ia menuju; cepat atau lambat. Ia yakin kapan saja Allah bisa memanggil dan karenanya ia siap. Kesiapan menghadapi kematian membuat orang merasa ringan menghadapi ujian dan rintangan dalam kehidupan. Ini karena, apapun yang dihadapi dalam hidup ini –ujian, sakit, cobaan, musibah- ia tak lebih hebat dari kematian yang telah bisa disadarinya. Maka orang yang menyiapkan kubur, ia tak mudah stress, tak mudah tertekan, tak mudah depresi. Sebaliknya, ia lebih mudah untuk bahagia.

Membuat ridha Tuhannya sebelum menemuiNya
Segala aktifitas dan pilihan hidup yang dijalani seseorang yang telah memegang kunci ini akan selalu diorientasikan pada keridhaan Ilahi. Apa yang ia jalani, apa yang ia alami, senantiasa dievaluasi dengan pertanyaan: “Apakah Allah meridhai ini?”

Dengan orientasi ridha Ilahi, seseorang tak lagi disibukkan dengan berbagai penilaian orang yang bermacam-macam. Yang penting Allah ridha, yang penting ia berada di jalan yang benar. Biarlah satu dua orang tak suka. Ia takkan dipusingkan dengan cela atu puji, apalagi sekedar menuruti gengsi. Dengan demikian hati lebih damai, hidupnya lebih bahagia.[]

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

MANUNGGALING KAWULA GUSTI: 140 AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEIKH SITI JENAR

KHASIAT DALAM SURAH ALI IMRAN

Hizb ut-Tahrir's Manifesto for the Revolution of Al-Sham: Towards the Birth of a Second Rightly-Guided Khilafah