Ikhlas
Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi:
“Akulah sebaik-baiknya sekutu (teman). Barang siapa mempersekutukan Aku bersama yang lain, ia akan diserahkan kepada sekutu itu. Wahai sekalian manusia, beramallah kalian dengan ikhlas karena Allah.
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang kecuali amal yang berdasarkan ikhlas karena-Nya. Janganlah kalian mengucapkan “ini demi Allah dan demi kekerabatan“, perbuatan itu akan menjadi karena kekerabatan saja dan tidak sedikitpun karena Allah.
Dan jangan pula kalian mengucapkan “ini demi Allah dan demi pemimpin kalian.” Amalan seperti itu hanya untuk kehormatan/pemimpin kalian saja, dan bukan karena Allah.”
(HR. Al-Bazzar dari Adh-Dhahak).
***
Imam Abu Zakaria Yahya Ibn Syarf An-Nawawi dalam kitabnya ‘Riyadhusshalihin’
menempatkan masalah ikhlas pada bab pertama, mengawali masalah lainnya yang
tidak kalah penting. Namun, tentu saja penempatan itu mengandung maksud, bahwa
ikhlas merupakan amal yang paling mendasar untuk diketahui dan dihayati
maknanya. Barangkali pandangannya terhadap esensi ikhlas tidak jauh berbeda
dengan ulama lainnya seperti Hujatul Islam Imam Al-Ghazali, Ibnul Qayim
Al-Jauziah dan para Salafusshalih lainnya yang menjadikan masalah ikhlas sebagai
amaliah yang patut mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari setiap pribadi
muslim. Karena tanpa itu, semua perbuatan kita tidak berarti apa-apa di hadapan
Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan dalam kutipan Hadits Qudsi di atas yang mengingatkan
kita bahwa Allah hanya menerima amal yang didasari oleh ikhlas semata
karena-Nya. Untuk itu, ada baiknya bila kita merenungi kembali beberapa firman
Allah dan sabda Rasulullah SAW tentang ikhlas ini yang diperjelas juga oleh
manhaj para ulama salaf, sehingga kita dapat menerapkan akhlaq ikhlas ini dalam
beramal.
Ikhlas dan Aplikasinya
Ikhlas artinya membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari
berbagai maksud dan niat lain. Atau mengesakan hanya Allah-lah sebagai tujuan
dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan menjauhi dan mengabaikan pandangan mahluk
serta tujuan keduniaan dan senantiasa berkonsentrasi kepada Allah semata.
Demikian Dr. Ahmad Faridl menyimpulkan dari berbagai definisi para ulama di
antaranya Imam Al-Ghazali, Imam Ibnu Razaq Al-Hambali dan Ibnul Qayim
Al-Jauziah. (Tazkiyatun Nufus: 1 )
Pengertian ini selaras dengan pemahaman ulama lainnya seperti Ar-Raghib dan
Abdul Qasim Al-Qusyairi yang menyebutkan bahwa ikhlas adalah menjadikan satu
tujuan dalam menjalankan Al-Haq hanya kepada Allah SWT serta menjauhi maksud
selain Allah. yaitu dorongan-dorongan hawa nafsu atau mengharap pujian
manusia.
Dalam Al-Quran disebutkan lebih kurang 24 tempat yang menjelaskan ikhlas ini,
bahkan dalam QS. Az-Zumar diulang sampai empat kali dan dalam QS. As-Shaffat
sampai lima ayat yang menjelaskan ikhlas dan keutamaannya. Setiap ayat tersebut
menegaskan bahwa ikhlas merupakan syarat pertama diterimanya amal manusia
seperti tercantum dalam firman-Nya: “Sesungguhnya kamu pasti akan merasakan
adzab yang pedih, dan kamu tidak diberi balasan kecuali atas kejahatan yang
telah kamu perbuat. Dan hamba-hamba Allah yang meng-ikhlaskan diri (dalam
menjauhi dosa), mereka mendapat rizqi yang ditentukan.” QS. 31: 41 Ayat ini
mengisyaratkan bahwa amal yang disertai dengan keikhlasan akan mendapat balasan
yang berlipat ganda, sementara mereka yang mempunyai niat jahat, juga akan
menerima balasan kejelekannya. Allah SWT memang memberi keutamaan dalam akhlaq
ikhlas ini.
Bukankah salah satu surat di dalam Al-Quran diberi nama Al-Ikhlas.
Ini menunjukan bahwa ikhlas merupakan akhlaq utama dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Ikhlas yang berisi tauhid
yang menjadi dasar keyakinan ummat Islam.
Sayid Muhammad Ibnu Alwy Ibnu Abbas Al-Maliki Al-Makky Al-Hasani dalam
kitabnya “Qul Hadzihi Sabili,” memasukkan ikhlas sebagai Al-Manjiyyat yaitu
sesuatu yang dapat memberi keselamatan kepada siapa saja yang mengamalkannya.
Ikhlas menurutnya identik dengan Iman, sambil mengutip QS. 17: 19 yang artinya,
“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.”
Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa motivasi orang yang beriman (baca:
ikhlas) adalah kehidupan Akhirat serta bersungguh-sungguh untuk meraihnya.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah dalam menjalankan
agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan walau amal sekecil apapun.” Ketika
beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab: ”Ialah ikhlas karena
Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal kecuali disertai
keikhlasan kepada-Nya serta mengharap keridlaan-Nya semata.” HR.
An-Nasai
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa mencampuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan (harta, tahta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq, na’udzubillahi min dzalik. hal. 121
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa mencampuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan (harta, tahta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq, na’udzubillahi min dzalik. hal. 121
Imam Al-Ghazali juga mengemukakan tentang pertarungan antara ikhlas dan riya
ini dan membaginya menjadi tiga jenis dorongan dan akibatnya,
(1) Jika pendorong amalnya (ikhlas) sama kuat dengan dorongan nafsunya, maka
kedua-duanya harus digugurkan dan jadilah amalnya tidak berpahala dan juga tidak
berdosa.
(2) Jika dorongan riya lebih kuat dan menang, jadilah amalannya tidak bermanfaat, malah mengakibatkan adzab baginya. Siksaan dalam kondisi seperti ini lebih ringan dibanding amal yang semata-mata riya.
(3) Jika niat bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah lebih kuat dibanding dengan yang lainnya, maka ia mendapat pahala dari kekuatannya memelihara keikhlasan tadi. Ihya 1V:372
Memperhatikan uraian di atas, kita dapat memahami bahwa keikhlasan patut
dipelihara dari sifat-sifat yang mengotorinya seperti riya., ujub (merasa bangga
akan perbuatannya), takabbur bahkan syirik sekecil apapun.
Rasulullah SAW pernah memperingatkan ummatnya akan syirik ini, sabdanya:
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik
yang paling kecil.” Para shahabat bertanya; “Apakah yang disebut syirik yang
paling kecil itu ?” Beliau menjawab; “Riya“, Allah berfirman pada Hari Kiamat
ketika memberikan balasan terhadap manusia menurut perbuatannya: “Pergilah kamu
sekalian kepada sesuatu yang dijadikan tempat memperlihatkan amal kamu di dunia,
maka tunggulah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu.” HR. Ahmad dari
Mahmud Bin Labid
Sehubungan dengan masalah ini, Imam Ibnul Qayim Al-Jauziah dalam “Al-Fawaid“
menjelaskan: “Ikhlas dan tauhid adalah pohonnya hati, sedang amal adalah
cabangnya, dan buahnya adalah kehidupan yang baik di dunia dan mendapat tempat
yang menyenangkan di Akhirat kelak. Dan syirik, dusta serta riya sebagai
pohonnya hati, maka buahnya rasa takut, was-was, gelisah dan sempit jiwanya
serta gelap hatinya di dunia, kelak di Akhirat ia mendapat adzab yang pedih.
Demikianlah ta’wil dari perumpamaan dua pohon dalam QS. Ibrahim: 26.” hal.
214.
Inilah salah satu makna dan hakikat ikhlas yang memiliki keutamaan serta
selalu mendapat tantangan dari sifat yang dihembuskan syetan. Hanya orang-orang
yang kuat imanlah yang akan mampu menghadapi tantangan tadi. Mereka melaksanakan
ikhlas tidak hanya di mulut, tetapi juga dalam penghayatan yang mendalam sebagai
bukti nyata dari ikrar yang selalu kita ucapkan “Innaa Shalatii Wanusukii wa
mahyaaya wa mamaatii Lillahi Rabbil ‘Alamiin.” (Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam).
Apabila kita membuka kembali kisah-kisah para auliyaurrahman serta penjelasan
para ulama salaf, maka akan kita temukan mutiara hikmah yang merupakan cerminan
sifat ikhlas yang mereka miliki. Di antaranya kisah Khalid Bin Walid ketika
diangkat menjadi panglima jihad fi sabilillah. Setelah sekian lama dia memimpin
pasukannya melawan musuh-musuh Islam dan telah banyak meraih kemenangan yang
gemilang, tanpa diduga Khalifah Umar Bin Khattab mengirim surat penggantian
jabatannya sebagai panglima, padahal saat itu dia sedang memimpin perang Yarmuk
melawan tentara Romawi. Namun karena sifatnya yang terpuji, dengan penuh
keikhlasan dia menyerahkan jabatannya kepada penggantinya Abu Ubaidah. Demikian
luhur akhlaqnya, ia berjihad bukan karena Umar atau tujuan lainnya selain Allah
SWT, sehingga walaupun telah turun jabatannya, ia terus melanjutkan jihad
fisabilillah dengan sempurna.
Suatu hari Mu’adz Bin Jabal RA meminta nasehat kepada Rasulullah SAW sewaktu
dia akan diutus ke Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah SAW, berilah aku nasehat,”
Rasul bersabda; “Ikhlaslah dalam agamamu, meskipun kerjamu sedikit.” HR.
Al-Hakim
Pada kesempatan lain, Mu’adz menangis di sisi kuburan Nabi, ketika Umar
melihatnya ia menegurnya “Ada apa, kenapa kamu menangis?“ Mu’adz menjawab; “Aku
teringat sebuah sabda Rasulullah SAW: “Sekecil apapun dari riya adalah termasuk
kemusyrikan. Barang siapa yang memusuhi para wali Allah, maka ia telah menantang
kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik,
orang-orang yang bertaqwa dan orang yang bersembunyi yaitu jika mereka tidak
hadir, tidak dicari orang, dan bila mereka hadir, tidak dikenal. Hati mereka
adalah lampu-lampu petunjuk, mereka terselamatkan dari setiap bencana
kegelapan.” HR. Al-Hakim
Nasehat Rasulullah SAW kepada Mu’adz ini mengandung pelajaran yang berharga
bagi kita, antara lain mengungkap tiga sifat dan sikap para Mukhlishin
yaitu:
1. Selalu berbuat baik walaupun manusia membenci kebaikan yang dia perbuat.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: ”Maka sembahlah Allah dengan
seikhlas-ikhlasnya beribadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak
menyukainya.” QS. 40: 14
2. Mendasari setiap amal shalihnya dengan taqwa dan iman kepada Allah SWT.
3. Sikapnya berbuat baik tidak ingin dilihat atau dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS pernah mengatakan: ”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebajikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
Sebagai upaya membina terwujudnya keikhlasan yang mantap dalam hati setiap
mu’min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat memelihara
ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita, di antaranya:
Pertama, dengan meyakini bahwa setiap amal yang kita perbuat, baik lahir
maupun batin, sekecil apapun, selalu dilihat dan didengar Allah SWT dan kelak
Dia memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan hati tanpa ada yang terlewatkan.
Kemudian kita menerima balasan atas perbuatan-perbuatan tadi. Firman Allah:
“Barang siapa yang beramal kebajikan sebesar debu, pahala kebajikannya itulah
yang akan dilihatnya. Dan barang siapa yang berbuat kejahatan sebesar debu, maka
siksa kejahatannya itulah yang akan dilihatnya kelak.” QS. 99: 7-8
Dan yang sering tidak kita sadari adalah penyimpangan niat dari ikhlas
lillahi Ta’ala menjadi riya. Dalam hadis Qudsi dikemukakan: ”Kelak pada Hari
Kiamat akan didatangkan beberapa buku catatan amal yang telah disegel. Lalu
dihadapkan kepada Allah SWT tetapi kemudian Dia berfirman: ”Buanglah semua
buku-buku ini !”
Malaikatpun berkata: ”Demi kekuasaan-Mu, kami tidak melihat
didalamnya selain kebaikannya saja.” Lalu Allah berfirman; “Sesungguhnya amalan
yang memenuhinya dilakukan bukan karena Aku, dan Aku tidak menerima kecuali apa
yang dilakukan karena mencari keridlaan-Ku.” HQR. Al-Bazzar & at-Tabrani
Kedua, memahami makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam
beribadah hanya kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah yakin
perbuatan kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat
kita menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada keimanan dan ketaqwaan
serta segeralah mensucikan diri dengan bertaubat dan meluruskan kembali niat
baik tadi. Firman Allah: “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki
amal mereka serta berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus ikhlas
mengerjakan agama mereka karena Allah, maka mereka itu adalah bersama orang yang
beriman dan kelak Allah memberikan kepada orang yang beriman pahala yang besar.”
QS 4; 146
Imam Yahya An-Nawawi membagi amal baik berdasarkan niatnya kepada tiga
macam,
(1). Amal hamba sahaya, apabila kita melakukan perbuatan baik karena merasa takut akan adzab dari Allah.
(2). Amal Saudagar, yaitu jika kita beramal karena mengharapkan pahala dan surga dari Allah SWT.
(3). Amal manusia merdeka, yaitu beramal sebagai bukti keikhlasan kita kepada Allah SWT serta rasa syukur dengan menyadari akan kewajiban untuk beribadah kepada-Nya dan inilah tingkatan amal baik yang paling tinggi dalam pandangan Allah SWT. Hadits Qudsi, 1988: 277
Ketiga, Berusaha membersihkan hati dari sifat yang mengotorinya seperti riya,
sum’ah, nifaq atau bentuk syirik lainnya sekecil apapun. Allah berfirman:
”Barang siapa yang berharap menemui Rabb-nya, hendaklah ia mengerjakan perbuatan
baik dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan
sesuatu apapun.“ QS. 18: 110
Kehati-hatian ini sebagai cerminan sikap ikhlas kita, meskipun tidak jarang
kita khilaf dan menyimpang dari niat semula. Namun, dengan memahami seluk beluk
penyakit hati ini, diharapkan kita dapat mengambil sikap yang benar.
Fudlail Bin ‘Iyadl mengatakan: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya,
sedang beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah menyelamatkanmu
dari kedua penyakit tersebut.”
Keempat, Memohon petunjuk kepada Allah agar menetapkan hati kita dalam
ikhlas. Karena hanya Dia-lah yang berkuasa menurunkan hidayah dan menyelamatkan
kita dari godaan syetan yang selalu menghembuskan kejahatan yang dapat
membinasakan manusia. Tidak sedikit manusia yang terjerumus pada riya dan syirik
yang tersembunyi, sebagaimana diperingatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya:
”Barangsiapa yang shalat dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik,
dan barang siapa yang shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik,
dan demikian juga, barangsiapa yang bersedekah dengan riya sesungguhnya ia telah
melakukan syirik, karena Allah ‘azza wajalla berfirman (dalam Hadits Qudsi):
”Aku adalah penentu yang terbaik bagi orang yang telah menyekutukan sesuatu
dengan-Ku. Amal perbuatannya sedikit maupun banyak bagi yang disekutukannya
sedang Aku sama sekali tidak perlu padanya.” HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tabrani
dalam “Al-Mu’jam Al-Kabir
Maka, sudah menjadi kewajiban kita sebagai pribadi muslim untuk terus memelihara keikhlasan dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang mengotorinya. Hanya kepada-Nyalah kita berserah diri dan memohon petunjuk-Nya.
Ya Muqollib Al-Qulub, Tsabbit Quluubanaa ‘ala diiniKa, Ashbahnaa ‘ala
fitratil Islam Wa-kalimatil Ikhlash Wa ‘Ala dini Nabiyina Muhammad
Sallallau’alaihi wasallam, wa’alaa millati abiinaa Ibrahiima haniifaa, wamaa
kaanaa minal musyrikiin. “
(Ya Allah yang berkuasa membolak-balikkan hati manusia, tetapkanlah hati kami
dalam agama. Jadikanlah kami dalam fitrah Islam dan teguhkanlah kami dalam
prinsip keikhlasan, berpegang teguh kepada agama Nabi kami, Muhammad SAW, juga
millah Ibrahim dengan setulus hati. Dan Ibrahim itu bukan dari golongan orang
musyrik ).
Ulasan
Catat Ulasan