Pentingnya Amalan Hati
Kebanyakan orang memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan dzohir.
Kita dapati sebagian orang benar-benar berusaha untuk bisa sholat sebagaimana
sholatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seluruh gerakan-gerakan
sholat Nabi yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih berusaha untuk
diterapkannya. Sungguh ini merupakan kenikmatan dan kebahagian bagi orang yang
seperti ini. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
:صَلوُّا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلّي
“Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat”
“Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat”
Demikian juga perihalnya dengan haji, kebanyakan orang benar-benar berusaha
untuk bisa berhaji sebagaimana haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai
bentuk pengamalan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku”
“Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku”
Akan tetapi…..
Ternyata banyak juga orang-orang yang memberi perhatian besar terhadap
amalan-amalan yang dzohir –termasuk penulis sendiri- yang ternyata lalai dari
amalan hati…
Sebagai bukti betapa banyak orang yang bisa jadi gerakan sholatnya seratus
persen sama seperti gerakan sholat Nabi akan tetapi apakah mereka juga memberi
perhatian besar terhadap kekhusyu’an dalam sholat mereka??
Bukankah Nabi bersabdaإِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرفُ؛ وَمَا كُتِبَ إِلا عُشُرُ
صلاتِهِ، تُسُعُها، ثُمُنُها، سُبُعُها، سُدُسُها، خُمُسُها، رُبُعُها، ثلُثُها،
نِصْفها
“Sesungguhnya seseorang selesai dari sholatnya dan tidaklah dicatat baginya
dari pahala sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya,
seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya,
sepertiganya, setengahnya”
(HR bu Dawud no 761 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)Al-Munaawi
rahimahullah berkata
أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلاَفِ الأَشْخَاص بِحَسَبِ الْخُشُوْعِ
وَالتَّدَبُّرِ وَنَحْوِهِ مِمَّا يَقْتَضِي الْكَمَالَ
“Perbedaan pahala sholat tersebut sesuai dengan perbedaan orang-orang yang sholat berdasarkan kekhusyu’an dan tadabbur (bacaan sholat) dan yang semisalnya dari perkara-perkara yang mendatangkan kesempurnaan sholat” (Faidhul Qodiir 2/422)
“Perbedaan pahala sholat tersebut sesuai dengan perbedaan orang-orang yang sholat berdasarkan kekhusyu’an dan tadabbur (bacaan sholat) dan yang semisalnya dari perkara-perkara yang mendatangkan kesempurnaan sholat” (Faidhul Qodiir 2/422)
Bukankah khusyuk merupakan ruhnya sholat??. Bukankah Allah tidak memuji semua
orang yang sholat, akan tetapi hanya memuji orang beriman yang khusyuk dalam
sholatnya??
Allah berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
(٢
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya (QS Al-Mukminun : 1-2)
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya (QS Al-Mukminun : 1-2)
Hal ini dengan jelas menunjukan akan pentingnya amalan hati. Oleh karananya
Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata;
وَفِي الأَثَرِ أَنَّ الرَّجُلَيْنِ لَيَكُوْنُ مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ
وَاحِدًا وَبَيْنَ صَلاَتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ
“Dalam sebuah atsar bahwasanya sungguh dua orang berada di satu saf sholat namun perbedaan antara nilai sholat keduanya sebagaimana antara timur dan barat” (Minhaajus Sunnah 6/137)
“Dalam sebuah atsar bahwasanya sungguh dua orang berada di satu saf sholat namun perbedaan antara nilai sholat keduanya sebagaimana antara timur dan barat” (Minhaajus Sunnah 6/137)
Sungguh merupakan perkara yang menyedihkan… banyak diantara kita yang
memiliki ilmu yang tinggi, melakukan amalan-amalan dzohir yang luar biasa… akan
tetapi dalam masalah amalan hati maka sangatlah lemah. Ada diantara mereka yang
sangat mudah marah… sangat tidak sabar…kurang tawakkal…, yang hal ini
menunjukkan lemahnya iman terhadap taqdiir. Tatkala datang perkara yang genting
maka terlihat dia seperti anak kecil yang tidak sabar dan mudah marah…
menunjukan lemahnya amalan hatinya. Meskipun ilmunya tinggi…, meskipun amalannya
banyak.. akan tetapi ia adalah orang awam dalam masalah hati. Bahkan bisa jadi
banyak orang awam yang jauh lebih baik darinya dalam amalan hati.
Renungan…
Renungkanlah hadits berikut ini sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu:
كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ”
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي
يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ
الْأُولَى . فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى
مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي
لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ
رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ:
نَعَمْ
“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
beliaupun berkata : “Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga”.
Maka munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air
wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan
hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan
munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala
keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi
yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Aash
mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : “Aku bermasalah dengan ayahku
dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu
aku boleh menginap di rumahmu selama tiga hari?. Maka orang tersebut berkata,
“Silakan”.
Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya :
وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي
الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا
تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ،
حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ
أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ
أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي
وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ
الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ،
فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ،
فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا
رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا
رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ
عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
“Abdullah bin ‘Amr bin al-’Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama
orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang
tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan
berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir,
hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : “Hanya saja
aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga
hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya :
Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan
ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian
seorang penduduk surga”, lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin
menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku
tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Orang itu berkata :
“Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat”. Abdullah bertutur : “Tatkala aku
berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang
engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam
hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun
atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya”. Abdullah berkata, “Inilah amalan
yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surge-pen), dan inilah yang tidak
kami mampui” (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan sanad yang shahih)
Perhatikanlah hadits yang sangat agung ini, betapa tinggi nilai amalan hati
di sisi Allah. Sahabat tersebut sampai dinyatakan sebagai penduduk surga oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali selama tiga hari
berturut-turut. Padahal amalan hati yang ia lakukan –yaitu tidak dengki dan
hasad- bukanlah amalan hati yang paling mulia, karena masih banyak amalan hati
yang lebih mulia lagi seperti ikhlas, tawakkal, sabar, berhusnudzon kepada
Allah, dan lain-lain. Namun demikian telah menjadikan sahabat ini menjadi
penduduk surga. Padahal amalan dzohirnya sedikit, sahabat ini tidak rajin
berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam, akan tetapi yang menjadikannya
mulia… adalah amalan hatinya.
Hadits ini juga menunjukan bahwa amalan hati jauh lebih berat daripada amalan
dzohir. Semua orang bisa saja puasa, semua orang bisa saja bangun sholat malam,
semua orang bisa saja sholat sesuai sunnah Nabi, semua orang bisa saja
berpakaian sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi… akan tetapi ..:
- Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahayanya riyaa namun
masih saja terlena dengan kenikmatan semu riyaa’, bangga tatkala dipuji hingga
kepala membesar hampir sebesar gunung…
- Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahaya ‘ujub, akan
tetapi tetap saja bangga dengan amalan dan karya sendiri…
- Betapa banyak diantara kita sudah menghapalkan sabda Nabi
“Janganlah marah…”, akan tetapi hati ini susah untuk bersabar dan menerima
taqdir Allah yang memilukan…
- Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui bahwasanya semua
taqdir dan keputusan Allah adalah yang terbaik akan tetapi tetap saja bersuudzon
kepada Allah…
- Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui dengan ilmu yang
tinggi bahwasanya Allahlah yang mengatur dan memutuskan segala sesuatu, akan
tetapi tetap saja tawakkalnya kurang kepada Allah..
- Dan seterusnya..
Besar Kecilnya Nilai Amalan Dzohir Bergantung Dengan Amalan Hati
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ
ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam tangan” (HR Al-Bukhari no 3673 dan Muslim no 221)
“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka (kurma atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam tangan” (HR Al-Bukhari no 3673 dan Muslim no 221)
Perhatikanlah…tahukah para pembaca yang budiman bahwasanya gunung Uhud
panjangnya sekitar 7 km dan lebarnya 2 sampai 3 km, dengan ketinggian sekitar
350 meter?. Tentunya kalau ada emas seukuran ini maka beratnya tibuan ton
tentunya. Kalau kita memiliki emas sebesar itu…, apakah kita akan
menginfakkannya??
Lantas kenapa para sahabat mendapat kemuliaan yang luar biasa ini?, mengapa
ganjaran amalan mereka sangat besar di sisi Allah??
Al-Baydhoowi berkata :
مَعْنَى الْحَديْثِ لاَ يَنَالُ أَحَدُكُمْ بِإنْفَاق مِثْلِ أُحُدٍ ذَهَبًا
منَ الْفَضْلِ وَالأَجْرِ مَا يَنَالُ أَحَدُهُمْ بِإِنْفَاق مُدِّ طَعَامٍ أَوْ
نَصِيْفِهِ وَسَبَبُ التَّفَاوُت مَا يُقَارِنُ الأَفْضَلَ منْ مَزِيْدِ
الإِخْلاَصِ وَصِدْقِ النِّيَّةِ
“Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar“ (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 7/34)
“Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia sebagaimana yang diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun hanya menginfakan satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan tersebut adalah karena (mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan yang lebih dan niat yang benar“ (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 7/34)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فَإِنَّ الْأَعْمَالَ تَتَفَاضَلُ بِتَفَاضُلِ مَا في الْقُلُوْبِ مِنَ
الإِيْمَانِ وَالْإِخْلاَصِ، وَإِنَّ الرَّجُلَيْنِ لَيَكُوْنَ مَقَامُهُمَا فِي
الصَّفِّ وَاحِدًا وَبَيْنَ صَلاَتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاء
وَالْأَرْضِ
“Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi” (Minhaajus sunnah 6/136-137)
“Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf sholat akan tetapi perbedaan nilai sholat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi” (Minhaajus sunnah 6/136-137)
Beliau juga berkata,
أَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ يَعْظُمُ قَدْرُهَا وَيَصْغُرُ قَدْرُهَا بمَا
في الْقُلُوْبِ، وَمَا فِي الْقُلُوْبِ يَتَفَاضَلُ لاَ يَعْرِفُ مَقَادِيْرَ مَا
فِي الْقُلُوْبِ مِنَ الْإِيْمَانِ إِلاَّ اللهُ
“Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar atau menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam hati-hati manusia kecuali Allah” (Minhaajus Sunnah 6/137)
“Sesungguhnya amalan-amalan lahiriah (dzohir) nilainya menjadi besar atau menjadi kecil sesuai dengan apa yang ada di hati, dan apa yang ada di hati bertingkat-tingkat. Tidak ada yang tahu tingkatan-tingkatan keimanan dalam hati-hati manusia kecuali Allah” (Minhaajus Sunnah 6/137)
Oleh karenanya Allah berfirman
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS
Al-Hajj : 37)
Tentunya banyak orang yang menyembelih hewan kurban, dan banyak pula yang
menyembelih hewan hadyu (tatkala hajian), dan banyak pula orang yang bersedekah
dengan menyembelih hewan, akan tetapi bukanlah yang sampai kepada Allah darah
hewan-hewan tersebut akan tetapi yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan yang
terdapat di hati (lihat minhaajus sunnah 6/137)
Dari sini jelas bagi kita rahasia kenapa Allah menjadikan pahala sedikit
infaq yang dikeluarkan oleh para sahabat lebih tinggi nilainya dari beribu-ribu
ton emas yang kita sedekahkan. Sesungguhnya amalan-amalan hati para sahabat
sangatlah tinggi, keimanan para sahabat sangatlah jauh dibandingkan keimanan
kita. Mungkin kita bisa saja menilai amalan dzhohir seseorang, akan tetapi
amalan hatinya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Para sahabat yang
luar biasa amalan dzohirnya bisa saja ada seorang tabiin yang meniru mereka akan
tetapi yang menjadikan mereka tetap istimewa adalah amalan hati mereka yang
sangat tinggi nilainya di sisi Allah.
Ibnu Taimiyyah berkata tentang para sahabat, “Hal ini (ditinggikannya pahala
para sahabat-pen) dikarenakan keimanan yang terdapat dalam hati mereka tatkala
mereka berinfaq di awal-awal Islam, dan masih sedikitnya para pemeluk agama
Islam, banyaknya hal-hal yang menggoda untuk memalingkan mereka dari Islam,
serta lemahnya motivasi yang mendorong untuk berinfaq. Oleh karenanya
orang-orang yang datang setelah para sahabat tidak akan bisa memperoleh
sebagaimana yang diperoleh para sahabat… oleh karenanya tidak akan ada
seorangpun yang menyamai Abu Bakr radhiallahu ‘anhu. Keimanan dan keyakinan yang
ada di hatinya tidak akan bisa disamai oleh seorangpun. Abu Bakr bin ‘Ayyaas
berkata مَا سَبَقَهُمْ أَبُو بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ وَلَكنْ
بشَىْءٍ وَقَرَ في قَلْبِهِ “Tidaklah Abu Bakr mengungguli para sahabat yang lain
dengan banyaknya sholat dan puasa akan tetapi karena sesuatu yang terpatri di
hatinya”
Demikian pula para sahabat yang lain yang telah menemani Rasulullah dalam
keadaan beriman kepada Nabi dan berjihad bersamanya maka timbul dalam hati
mereka keimanan dan keyakinan yang tidak akan dicapai oleh orang-orang setelah
mereka…
Sesungguhnya para ulama telah sepakat bahwasanya para sahabat secara umum
(global) lebih baik dari para tabi’in secara umum. Akan tetapi apakah setiap
individu dari para sahabat lebih mulia dari dari setiap individu dari generasi
setelah mereka?, dan apakah Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu lebih mulia daripada
Umar bin Abdil Aziz rahimahullah??. Al-Qodhi Iyaadh dan ulama yang lain
menyebutkan ada dua pendapat dalam permasalahan ini. Mayoritas ulama memilih
pendapat bahwasanya setiap individu sahabat lebih mulia dari setiap individu
dari generasi setelah mereka. Ini adalah pendapat Ibnul Mubarok, Ahmad bin Hnbal
dan selain mereka berdua.
Diantara argumentasi mereka adalah amalan (dzohir) para tabi’in meskipun
lebih banyak, sikap adilnya Umar bin Abdil Aziz lebih nampak dari pada sikap
adilnya Mu’aawiyah, dan ia lebih zuhud daripada Mu’aawiyah, akan tetapi mulianya
seseorang di sisi Allah adalah tergantung hakekat keimanannya yang terdapat di
hatinya…mungkin bisa saja kita mengetahui amalan (dzohir) sebagian mereka lebih
banyak dari pada sebagian yang lain, akan tetapi bagaimana kita bisa mengetahui
bahwasanya keimanannya yang terdapat di hatinya lebih besar daripada keimanan
hati yang lain..?” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/137-139)
Kota Nabi, 24 Muharram 1432 / 30 Desember 2010
Firanda Andirja
www.firanda.com
Firanda Andirja
www.firanda.com
http://abdullahissgafa.blogspot.com/2012/08/pentingnya-amalan-hati.html
Dikirim dalam Tazkiyah Nufus
Ulasan
Catat Ulasan