Ketika Nasehat Dianggap Celaan
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya
adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela,
meremehkan, atau menjatuhkan.
Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang
besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka
penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan.
(Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari
uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan,
bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i)
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran,
buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan
orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata
sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan
kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang dituangkan
dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan
tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya.
Sehingga di sini kita perlu mencermati lebih lanjut apa sesungguhnya
pengertian nasehat dan bagaimana perbedaannya dengan ta’yiir (celaan,
mencacati).
Pengertian Nasehat Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal.
99 dengan menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah: “Nasehat ialah
kalimat yang diucapkan kepada seseorang karena menginginkan kebaikan
baginya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadits Tamim
Ad-Dari radhiallahu ‘anhu, katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Agama (Islam) ini adalah nasehat (diulangi tiga kali oleh beliau).”
Kami bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah,
Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin dan awam
mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Hadits ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran
Islam, Iman dan Ihsan yang telah diuraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam (ketika menjawab pertanyaan Jibril
tentang Islam, Iman dan Ihsan serta tanda-tanda hari kiamat), dan beliau
menamakan semua itu sebagai Ad-Dien (agama).[1]
Adapun nasehat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, menuntut adanya pelaksanaan
secara sempurna semua kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan. Ini
pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian, tidaklah sempurna nasehat untuk
Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban-Nya, lurusnya
keyakinan (‘aqidah) tentang Wahdaniyah (keesaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan
mengikhlaskan niat dalam beribadah hanya kepada-Nya.
Kemudian, nasehat untuk Kitab-Nya artinya beriman kepada kitab tersebut,
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Adapun nasehat untuk Rasul-Nya,
maksudnya ialah meyakini kenabiannya, mencurahkan segenap ketaatan dalam
menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan nasehat untuk
muslimin secara umum (bukan imam atau penguasa) artinya membimbing dan
mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan mereka.
2Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk
nasehat tersebut, terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan
gangguan dan hal-hal yang tidak disukai yang akan menimpa mereka, menyantuni
orang-orang fakir di antara mereka, mengajari orang-orang yang jahil dari
mereka, serta mengembalikan orang-orang yang menyimpang (sesat) dengan cara
lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap
mereka dengan cara yang baik dan rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerusakan yang ada pada mereka. (Al-Jami’ hal
101)
Dengan keinginan seperti ini, sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah
senangnya aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku dikerat
dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”
Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang artinya):“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari
kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk
dirinya.”(Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu)
Sebetulnya, karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan
umat, menghalau setiap bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka. Alangkah
tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah risalah yang
dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli
imu. Mereka mengajak orang-orang yang sesat (agar kembali) kepada petunjuk dan
bersabar atas gangguan yang ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu
‘menghidupkan’ kembali orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab Allah Subhanahu wa
Ta’ala (Al Qur`an). Mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Betapa banyak korban iblis yang telah mereka
hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah
indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya perlakuan manusia
terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan)
orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala
(Al-Qur’an), ajaran (bid’ah) orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil
yang telah mengibarkan bendera kebid’ahan, melepaskan tali-tali fitnah.”
Ahli bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami dan mengamalkan)
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an) sekaligus menentangnya. Namun mereka
bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu
(syar’i). Dan berbicara dengan hal-hal yang mutasyabih[2] dari firman Allah ini.
Mereka menipu orang-orang yang bodoh dengan syubhat yang mereka sampaikan. Kita
berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan.” (I’lamul Muwaqqi’in)
Bahkan kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan hal ini
(kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai hujatan atau kecaman
apalagi celaan dari orang-orang yang membantah ucapan atau pendapat mereka
secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut
dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab. Namun walaupun demikian, yang
ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut, bukan bantahan ilmiah yang
dipaparkannya.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu karena para ulama sepakat
untuk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah: “Mesti ada di dalam buku-buku ini hal-hal yang
bertentangan (menyelisihi) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman (yang artinya):“Maka apakah mereka tidak memperhatikan
Al-Qur’an? Jika sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Jadi, semua yang datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali
perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya, Al-Qur’an yang mulia ini yang turun
dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sama sekali tidak ada perselisihan di
dalamnya. (Lihat Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini).
Maka, membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru), menjelaskan
al-haq yang berbeda dengan pemikiran yang lemah tadi dengan dalil-dalil syar’i,
bukanlah sesuatu yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya, mereka sangat
menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya sebagai ghibah. Bahkan
mereka memasukkannya sebagai bagian dari nasehat untuk Allah, kitab-Nya,
Rasul-Nya, dan untuk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat
keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dari seorang
ulama.
Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan dalam risalahnya Al-Farqu baina
An-Nashihati wat Ta’yiir, adanya ulama yang membantah pendapat Sa’id bin
Al-Musayyab rahimahullah yang membolehkan jatuhnya talak tiga sekaligus dalam
satu akad. Juga terhadap Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah yang menyatakan tidak
ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah sampai waktu yang
ditentukan) bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama
lainnya yang memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adalah imam-imam
pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan (al-jarh) terhadap
pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap
mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepatnya perkataan Al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan:
“Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya, kecuali pemilik (penghuni)
kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam–.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kalau kalian dapati dalam
kitabku bertentangan dengan Sunnah Nabi, maka ambillah Sunnah Nabi dan
tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, hal. 50,
ed)
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita
untuk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya yang
sempat terucap maupun yang tertulis. Dan alangkah terbaliknya keadaan mereka
dengan kaum muslimin yang mengaku-aku bermadzhab dengan madzhab para imam
tersebut tapi bangkit marah serta kebenciannya, bahkan sesak dadanya kalau
imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya disalahkan.
Yang lebih parah lagi, sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka
adalah manusia-manusia maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya.
Maka barangsiapa yang mengkritik tokoh-tokohnya, berarti menodai kemuliaan dan
nama baik para imam tersebut.
Tentang hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah
mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masanya berdialog dengannya kemudian
dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ternyata tokoh
tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan Al-Imam Sibawaih untuk mendukung
pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepadanya (Abu
Hayyan): “Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu sehingga harus ma’shum (bersih,
terjaga dari aib dan kesalahan)? Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dalam 40
tempat yang tidak kamu pahami, juga dia.” (Lihat Ar-Radd Al-Wafir hal 65)
Lebih lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan: “Jika nasehat itu adalah
suatu hal yang wajib untuk kemaslahatan diniyah (urusan agama) secara umum
maupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan) para rawi yang salah atau dusta,
sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya bertanya kepada (Al-Imam)
Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumullah,
tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan sebuah hadits, atau tidak
menghafalnya, (bagaimana tentang orang tersebut)?’ Kata mereka: ‘Terangkan
keadaannya!’”
Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat
bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.”[3] Maka Al-Imam
Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan
keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan tahu mana hadits yang
sahih dan mana yang cacat?”[4]
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan berbagai pernyataan yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ahli ibadah yang mengamalkan
sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka menerangkan keadaan
mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka (apalagi
pemikiran mereka) adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai
ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa,
shalat dan i’tikaf, itu lebih anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan
kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf
(dan ibadah lainnya), maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya
sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka
itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum muslimin dan
kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah
dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan
permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan kaum
muslimin…”[5]
Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Tahukah kamu apakah
ghibah itu?” Mereka (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu menyebut-nyebut
saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.” (HR. Muslim)
Seorang mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci
kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya,
meskipun hal itu memberatkannya… Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran
tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan persaudaraan itupun berkurang
senilai dengan kurangnya iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang
lebih patut mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)
Maka jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan
bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat untuk kaum muslimin
secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir
(celaan) yang diharamkan.
Sudah masyhur dalam buku-buku yang membahas tentang As-Sunnah atau aqidah,
melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasanya tidak
berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan adanya
pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat, kejelekan, ataupun
kesesatan ahli bid’ah.[6]
Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan
bahwa semuanya terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan
amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana
telah kita kemukakan pada pembahasan sebelumnya (pada artikel Hakekat Jarh wat
Ta’dil).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajibnya melakukan amar ma’ruf
nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ umat
ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasehat yang termasuk ajaran
(agama) Islam.[7]
Dan termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak
manusia untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menerapkannya dalam kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli
bid’ah.
Adapun dalil khusus yang terkait dalam masalah ini; bolehnya mengecam,
mengkritik, dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):“Allah tidak menyukai ucapan buruk
(yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa:
148)
Ayat ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang dilanggar (tidak dipenuhi)
oleh tuan rumah, sehingga boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan tuan rumah
dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap orang-orang yang menyebarkan
kebid’ahan.[8]
Adapun di dalam As-Sunnah, banyak pula disebutkan hadits-hadits yang
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang
melakukan kerusakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antaranya
ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada
seseorang minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau berkata:
“Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara (putera) dalam
kabilahnya.”Ketika dia masuk, beliau melunakkan pembicaraannya terhadap orang
tersebut. Saya (‘Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah, anda mengatakan sebelumnya
demikian (tentang dia), kemudian anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?”
Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya sejahat-jahat manusia ialah orang
yang ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan karena takut kekejiannya.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini: “Di dalam
hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan mudaaraah[9], terhadap orang yang
dikhawatirkan kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang
terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya dan orang-orang yang memang
perlu kaum muslimin jauhi.”[10]
Juga hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha, ketika dia meminta nasehat
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan siapa dia sebaiknya menikah
saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):“Adapun Abu Jahm, dia
tidak pernah meletakkan tongkatnya (suka memukul) dari pundaknya. Adapun
Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.”
(Shahih, HR. Muslim dan lainnya)
Bolehnya men¬jarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat dalam hadits ini. Kalau
di sini diungkapkan bolehnya menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam hal ini
kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi secara khusus, sebagai nasehat
buat shahabiah tersebut, maka tentunya lebih jelas lagi bolehnya menyebutkan
kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara
umum.[11]
Di samping itu, tidak pula ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan mereka
ketika membantah dan menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran atau
pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya
tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama
menerangkan hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk menperingatkan dari
kesesatan ahli bid’ah… kebaikan mereka tidak ada artinya dibandingkan dengan
kekafiran, jika bid’ahnya itu sampai kepada kekafiran, gugur sudah kebaikannya.
Adapun kalau bid’ahnya belum sampai pada tingkat kufur, maka dia dalam keadaan
bahaya… [12]
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang
mendustakan para Rasul Allah ‘alaihimussalam yang datang kepada mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala terangkan kekafiran, pendustaan dan penghinaan mereka
terhadap para Rasul tersebut, kemudian bagaimana Dia membinasakan dan
menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dalam Al Qur`an dan sama sekali tidak
ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adalah agar kita mengambil
pelajaran dan menjauhi apa yang mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan orang-orang Yahudi dan Nashara dengan
sifat yang sangat buruk, bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang sangat
hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka yang mereka runtuhkan
karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir
(memperingatkan -red) umatnya dari ahli ahwa` (bid’ah) tanpa memperhatikan
kebaikan yang ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan
bahaya mereka jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang
diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membaca ayat ini (yang artinya): “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al
Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas)
itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar).
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali
‘Imran: 7)
Kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya): “Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa
yang mutasyabih dari Al-Qur’an, merekalah yang disebut oleh Allah. Maka jauhilah
mereka!” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong dari kebaikan. Namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikannya dan
tidak menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membandingkan para shahabatnya dengan orang-orang Khawarij:
“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yang kalian meremehkan shalat
kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka,
amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati
tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepasnya anak panah
dari sasaran[13].”(HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu
‘anhu)
Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka[14], seburuk-buruk bangkai yang
terbunuh di kolong langit. Artinya, mereka (Khawarij) ini lebih berbahaya bagi
kaum muslimin daripada selain mereka, baik itu dari kalangan Yahudi maupun
Nashara. Mengapa demikian? Jawabnya jelas, karena mereka bersungguh-sungguh
berusaha membantai kaum muslimin yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka
halalkan darah dan harta kaum muslimin lainnya, bahkan nyawa anak-anak kaum
muslimin[15]. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sefaham dengan
mereka, dalam keadaan mereka menganggap semua itu adalah ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena parahnya kebodohan dan
kesesatan mereka…”
Terakhir, janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan orang-orang Yahudi.
Mereka berselisih dalam urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut,
namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah hal ini dalam firman-Nya (yang
artinya):“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”
(Al-Hasyr: 14)
Dan ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah sebagaimana firman-Nya (yag artinya):“Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)
Oleh karena itu, apabila kita lihat ada orang yang membantah pendapat atau
pemikiran yang menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam masalah
fiqih, atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka syukurilah usaha yang
dilakukannya sebatas kemampuannya itu.
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.
[1] Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Kitab Al-Iman.
[2] Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam, red.
[3] Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu A’lam.
[4] Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
[5] Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakekat Jarh wat Ta’dil.
[6] Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
[7] Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
[8] Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
[9] Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar, hal. 96) (ed)
[10] Syarh Shahih Muslim 16/144.
[11] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (28/230-231) dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
[12] Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal, Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah hal. 9.
[13] Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed)
[14]Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakan hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
[15] Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin Al-Art, ia dan isterinya yang hamil tua dibunuh oleh orang-orang Khawarij, kemudian anaknya yang ada di dalam perut isterinya dikorek dan dibunuh. Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un.
[2] Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam, red.
[3] Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu A’lam.
[4] Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
[5] Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakekat Jarh wat Ta’dil.
[6] Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
[7] Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
[8] Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
[9] Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar, hal. 96) (ed)
[10] Syarh Shahih Muslim 16/144.
[11] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (28/230-231) dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
[12] Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal, Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah hal. 9.
[13] Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed)
[14]Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakan hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
[15] Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin Al-Art, ia dan isterinya yang hamil tua dibunuh oleh orang-orang Khawarij, kemudian anaknya yang ada di dalam perut isterinya dikorek dan dibunuh. Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un.
Ulasan
Catat Ulasan