Bolehkah Memukul Anak?
Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah
Bintu ‘Imran
Anak tak selamanya harus disikapi lembut.
Terkadang kita perlu menghukumnya karena kenakalan atau kesalahan mereka.
Tentunya semua itu dalam bingkai pendidikan. Sehingga tidak bertindak berlebihan
yang justru mempengaruhi kejiwaan si anak.
Anak, bagaimanapun juga tak terlepas dari berbagai
macam tingkah dan polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan pada diri
mereka. Masing-masing anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda
perangainya. Terkadang di antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat
mudah diatur. Sedangkan yang lain, demikian bandel atau sering melakukan
berbagai pelanggaran.
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau
tak mau, orang tua harus mengetahui seluk- beluk mengarahkan anak. Haruskah
segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau
sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang
perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan
menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang
terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak
yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia
dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan
kelemahlembutan dalam mengarahkan anak- anaknya. Demikianlah contoh yang dapat
ditemukan dari sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengarahkan
dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam Kitabullah:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka karena rahmat Allah-lah engkau bersikap
lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu
mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu mengatakan: “Ini
adalah akhlak Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara
terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta
bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak
yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan memikat hati hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh
istri beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ketika beliau bersabda:
يَا عَائِشَةُ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ
الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ
يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut
dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia
berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.” (HR.
Muslim no. 2593)
Maknanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi
mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai
tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan
selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
mengisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan
kepadanya:
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ، فَإِنَّ الرِّفْقَ لاَ
يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ
شَانَهُ
“Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah
kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah
kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim
no. 2594)
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan
berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala
sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul
Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah radhiallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ، يُحْرَمِ
الْخَيْرَ
“Barangsiapa yang terhalang dari kelembutan, dia
akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin
memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan
berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang
baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai
dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat
dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan
pukulan.
Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda.
Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan
mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang
cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada
anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua
memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup
diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat
diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya
kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar
untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang
dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan
terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya.
Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat
mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`,
hal. 170- 171)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan
shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin
Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مُر
ُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
ُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah
mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia
bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para
pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ rahimahullahu,
maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وَجَدَ
أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ، ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma
apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau
memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.
1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al- Adabul Mufrad:
shahihul isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu
‘anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al- ’Atakiyyah:
ذُكِرَ أَدَبُ الْيَتِيْمِ عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا فَقَالَتْ: إِنِّي لأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى
يَنْبَسِطَ
“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak
yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku
pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis
di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul
isnad)
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal
ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah
radhiallahu ‘anhu:
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ
الوَجْهَ
“Apabila salah seorang di antara kalian memukul,
hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al- Bukhari no. 2559 dan Muslim no.
2612)
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan
memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang
terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah
demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan
anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan
atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat.
Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan
tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari
kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang
memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia
hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan
pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan
pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak
diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak
boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan,
misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang
ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk
memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan
mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh
orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab
yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَاْلأَمِيْرُ الَّذِي عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ،
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ
عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، اَلاَ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab
dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin
manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang
laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya
tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak
suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab
harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian
adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Ulasan
Catat Ulasan