Menikah, Membuka Kran Rezeki
“Menikah itu menyatukan beberapa kran rezeki, maka jangan takut melangkah”
Apa yang salah dengan keputusanku? Aku merasa sudah cukup bekal untuk menapaki kehidupan baru yang jauh lebih bertenaga. Bukan sekedar menikmati suasana damai di pantai, tapi derasnya gulungan ombak samudra, badai, juga mesti aku rasakan, untuk membuatku setegar karang yang terbenam di dasar pulau.
Dua puluh lima tahun menjadi usia paling pas untuk menikah. Jika sudah ada niat, maka langkah apalagi yang harus menghalangi? Bekal berlayar sudah aku persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Sudah tiga kali seminar pranikah aku ikuti. Tekadku, aku tak mau ikut seminar bertema sama untuk ketiga kalinya, kecuali aku tampil sebagai pembicara, dan bukan sebagai peserta lagi.
Kurang apalagi? usia sudah sangat cukup, maisyah sudah ada, mau kapan lagi akan punya ‘Aisyah’? Sudah sedemikian banyak amanah aku dapatkan, apalah lagi yang menghalangiku untuk memiliki ‘Aminah?’ Namun keinginan itu tak semulus apa yang aku impikan. Ada sedikit kerikil di tengah jalan yang perlu aku bersihkan baik-baik. Keputusan untuk menikah dianggap terlalu dini dan mendapat tanggapan dingin dan terkesan meremehkan dari banyak pihak termasuk sebagian besar keluargaku. Mereka menganggap aku belum mapan, hanya melihat karena pekerjaanku sebagai guru, swasta lagi.
“Mapankan dulu karir, baru menikah,”
“Kamu sudah yakin, mau menikah?”
“Menikah itu memelihara anak orang lho, nggak sembarangan,”
“Apa nggak kasihan sama ibu kamu yang pontang-panting cari duit buat bayar hutang dan juga sekolah adik-adikmu?”
Begitu komentar sebagian besar yang sampai di telingaku. Selain karena masih banyak tanggungan, aku masih dianggap sebagai anak yang diandalkan untuk menyetabilkan roda perekonomian keluarga. Beberapa diantaranya membantu menopang kebutuhan keluarga di rumah, mulai dari memasok uang saku adik-adik, bayar listrik, kebutuhan rumah lainnya, dan yang paling terasa adalah membiayai adikku ketika pertama masuk kuliah.
Sehingga kalau menikah, menurut kesimpulan mereka, otomatis akan menambah beban tanggungan biaya yang harus aku keluarkan. Apalagi usaha bapakku semakin kesini, semakin lesu. Penghasilannya tak semaju dulu. Mungkin karena tergerus saingan usaha sejenis yang sudah sedemikian menjamur, ditambah lagi usaha bapakku kurang terobosan. Sehingga sebagai anak pertama, aku turut merasakan pula menjadi kepala keluarga kedua setelah bapakku. Permintaanku hanyalah satu, “Allah, mudahkan aku memperoleh rezeki-Mu, mudahkanlah jodohku. Hadirkan keduanya dengan cara yang tak terduga.”
***
“Mau nggak aku kenalin. Ada seorang akhwat, salehah, cantik, dan siap nikah. Khitbah segera jika tak ingin ada orang lain mengkhitbahnya.” Hanya dalam hitungan hari setelah mengajukan permintaan itu, datang sebuah SMS itu.
Yang mengejutkan, pengirim SMS tersebut, perangainya kurang meyakinkan untuk menjadi mak comblang, lantaran masih kekanak-kanakkan. Aku sempat cuek dan tidak mau ambil pusing. Tapi sms-sms berikutnya terus berdatangan, yang isinya semakin hari semakin provokatif. Dia menyarankan agar aku segera berbuat sesuatu. Entah mengapa dada aku bergetar seperti membentuk getaran yang menyelusup relung jiwa tanpa permisi. Ia berhasil membuatku penasaran!
Di sebuah acara Seminar Pra Nikah, sang provokator itu memfasilitasi kami untuk bertemu. Ini berarti seminar pranikah yang ketiga kalinya. Prediksiku meleset lagi. Huh, aku sendiri heran, momen ini bisa pas mengupas masalah nikah. Ini berarti, untuk ketiga kalinya aku mengikuti seminar bertema sama. Keinginanku untuk stop mengikuti acara semacam ini belum terturutkan. Aku harap itu adalah seminar pranikah terakhir yang aku ikuti.
Kawan, jangan bayangkan pertemuan itu seperti dalam sinetron-sinetron. Bisa saling tatap dalam jarak yang amat dekat, diwarnai perasaan salah tingkah, lalu saling mengulurkan tangan, bersalaman, genggaman erat tangan tak lepas-lepas, dan baru mulai bicara saat disenggol lengannya oleh temannya, karena asyik terlena menggenggam dan menatap wajahnya. Aku tidak senaif itu.
Sesuai rencana, aku berkesempatan melihatnya di akhir acara. Yang aku alami tatkala itu adalah aku sempat menatap sekilas dari jarak sekitar 50 meter. Pertemuan itu pun hanya sekelebatan saja. Hanya dalam hitungan detik, karena saat itu hendak shalat dzuhur dan dia tampak buru-buru mau pulang. Entah, setelah pertemuan kilat itu, hati mendadak seperti magnet yang mengarah padanya: dialah muslimah yang akan menjadi istriku! Keyakinan itu begitu saja tumbuh. Entah datang dari mana, padahal melihat wajahnya saja hanya samar-samar. Lantaran sudah sedemikian yakin, pada kesempatan lain, aku mengusulkan untuk saling bertukar biodata, untuk kemudian berlanjut pada tahapan taaruf, khitbah, lalu nikah.
“Ternyata kau masih muda..” begitu komentarnya saat prosesi taaruf. Fakta baru yang mengejutkan, usianya terpaut 3 tahun di atasku. Aku 25 tahun, sementara ia 28. Dalam hati sempat bertanya-tanya, apakah perbedaan usia akan dipermasalahkan? Mudah-mudahan tidak. Rasulullah Saw saja menikah dengan Khadijah r.a yang usianya terpaut 15 tahun. Berarti perbedaan usiaku dengannya belum apa-apa. “Tapi kau kelihatan dewasa,” lanjutnya lagi.
“Apa keberatan jika menikah dengan yang lebih muda usianya?” tanyaku menyelidik berlagak seperti detektif.
“Bagiku tidak masalah, asal berpikiran dewasa dan siap memimpin keluarga. Dan yang paling penting siap membimbingku meraih surga,” jawabnya mantap. Jika jawabannya sudah begitu, maka nikmat Allah yang manakah yang akan kau dustakan?
Saat kami saling bersepakat untuk menikah, diam-diam terdengar kabar, ada seseorang yang menyesalkan melihat prosesi taaruf kami yang berlangsung sedemikian cepat. Menyesal lantaran ia keduluan temannya ‘yang kurang meyakinkan itu’ untuk menjadi mak comblang, menjodohkan kami. Diam-diam ternyata beberapa temanku merencanakan sesuatu yang sedemikian indah! Alhamdulilah berhasil.
***
Begitu mendengar dia meminta mahar buku tafsir fi dzilalil qur’an karya Sayyid Qutub sebagai mahar, langsung aku memesannya. Padahal saat itu aku sama sekali tak punya uang. Modalku hanya niat. Tanpa aku duga, begitu pesanan sampai, pada hari itu juga aku mendapat buku rekening lewat sekolah yang nominalnya satu setengah juta, dan langsung bisa dicairkan keesokannya. Aku pun langsung mengalokasikannya untuk membayar buku tafsir pesanan itu.
Belakangan menjelang pernikahan, calon istriku menyarankan lagi sebaiknya mahar ada yang berupa harta, entah berupa uang atau perhiasan. Mengingat itu penting, aku menyanggupi meski saat itu aku tak punya uang sama sekali. Di dompet hanya tinggal beberapa lembar ribuan. Ingin memberikan mahar perhiasan, tapi perhiasan itu belum di tangan, karena belum bisa aku pastikan. Maka aku memutuskan untuk memberikan tambahan mahar berupa uang sebesar satu juta rupiah. Gajiku saja jumlahnya segitu kurang sedikit. Pos itu rencananya akan aku ambil pada gajiku di bulan depan, bulan saat pernikahanku berlangsung. Mungkin aku akan minta gajian lebih dulu dari tanggal yang sudah ditentukan. Selebihnya berdoa sekuat tenaga untuk mendapatkan celah rezeki yang datangnya tak terduga.
***
“Sudah lengkap semua yang mau dibawa saat seserahan?” tanya nenekku.
“Kalau perabotan, Insyaallah sudah semua.”
“Bagaimana dengan perhiasan?”
Aku tercekat mendapat pertanyaan itu. Saldo tabunganku sudah menipis. Sebagian besar habis untuk membeli perlengkapan seserahan yang dianggap prioritas, juga untuk biaya yang sifatnya administratif. Barang-barang yang mau dibawa saat seserahan pun tidak sekaligus dibeli, melainkan menyicil setiap bulannya. Dari penghasilan yang aku peroleh, aku menyicil membeli perabotan. Bulan pertama membeli termos, rantang. Bulan kedua membeli rice cooker, bulan ketiga piring, gelas, sendok dan garpu, bulan keempat baju-baju, bulan kelima kompor, dan sebagainya. Hasil menyisihkan tiap bulan, nyaris tak ada alokasi untuk membeli emas, karena minimnya dana.
Tentang emas itu, kepikiran jelas saja. Kata nenekku, paling tidak lima gram dibawa pada saat seserahan. Malu kalau tak bawa, katanya.
Allah… dari mana aku harus dapatkan emas itu? Apakah itu harus? Aku belum ada uang untuk beli perhiasan. Sementara tabunganku di rekening… oh, seratus ribu pun tak sampai.
Saat melamarnya aku hanya bisa membeli sebutir cincin. Kesempatan yang sama saat membeli tafsir sebagai mahar, terulang lagi. Yakni mendapat mendapat uang satu setengah juta tanpa harus lelah mencari, yang setelah aku ketahui ternyata itu adalah tunjangan fungsional yang cairnya selama setengah semester sekali. Alhamdulilah….
Aku sebenarnya tak mempermasalahkan, jika tak bawa seserahan tanpa emas. Aku sudah sampaikan ini pada calon istriku, sudah aku sampaikan juga bagaimana kondisi keluargaku yang berasal dari keluarga sederhana. Ayahku hanya seorang pedagang di perantauan. Ibuku penjual nasi bungkus sarapan di pagi hari, dan keliling jualan gorengan di sore hari. Sementara aku, seorang guru, swasta pula. Penghasilanku tak seperti kebanyakan para pemuda seusia aku yang kebanyakan merantau berdagang martabak, dan bisa memberikan emas bergram-gram dengan barang seserahan super lengkap saat menikah.
Ah, aku tak perlu pesimis menghadapi hal ini. Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Waktu pelaksanaan tinggal beberapa hari lagi. Masih ada kesempatan meminta. Allah… berikanlah kemudahan kepadaku untuk mendapatkan rezeki yang tak terduga. Bukalah celah rezeki yang melimpah itu untukku. Jadikan aku sebagai salah satu orang yang mendapatkan rezeki tak terduga menjelang pernikahanku…
***
Begitu waktu gajian, aku terkejut karena aku menerimanya utuh, tanpa ada potongan untuk angsuran netbook sebesar dua ratus duapuluh ribu. Saat aku konfirmasi, ternyata sudah lunas bulan kemarin. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku melanjutkan perjalanan ke bank untuk membayar angsuran. Sesampai di sana, aku juga heran sendiri, petugas kasirnya bilang kepada aku,
“Selamat, siang Pak. Ada yang bisa dibantu?”
“Iya, Mbak. Aku mau bayar angsuran pinjaman bulan ini.”
“Mohon ditunggu sebentar, pak.”
“Baik.”
“Mohon maaf bapak. Angsuran pinjaman bapak, sudah lunas bulan kemarin,”
Aku melongo dengan kekhilafan aku yang sedemikian akut. Satu hal yang baru aku sadari menjelang pernikahan, ternyata aku sudah melunasi angsuran pinjaman yang setiap bulannya hampir menguras separuh dari tabunganku selama satu setengah tahun. Aku sendiri lupa, ternyata, kemarin adalah bulan terakhir melunasi pinjaman bank yang selama setahun berjalan. Lunas pula angsuran netbook yang ternyata tanpa terasa sudah ke angsuran terakhir juga di bulan yang sama. Tapi setelah dipikir-pikir, keren juga kalau punya penyakit lupa model kayak gini. Terima kasih, Allah…
***
Aku sangat yakin Allah akan mem-back up semua keperluan pernikahanku dari proses awal sampai akhir. Inilah doaku. Semoga ayah, ibu, kakek nenek dan juga semua saudara-saudara aku turut memanjatkan doa yang sama, pada kesempatan yang sama sehingga Allah meluluskan permintaanku.
Menjelang hari bersejarah itu, kenikmatan besar hampir setiap hari aku peroleh. Aku seolah dimudahkan bangun pagi sebelum subuh. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk tahajud. Aku percaya, Allah tak perhitungan memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Subhanallah… sejak memanjatkan doa agar diberikan rezeki tak terduga, setiap harinya aliran rezeki mengalir begitu derasnya. Ada yang memberiku uang 450 ribu secara tiba-tiba. Hari berikutnya aku mendapat proyek mengedit 3 cerpen yang tak lebih dari dua halaman untuk masing-masing satu judulnya, lumayan dapat 50 ribu. Sebagian uang itu aku infakkan pada hari itu juga. Dan langsung mendapat ganti pada hari itu juga 14 kali lipat keesokannya.
Hari berikut dapat honor menulis rilis di koran 70 ribu. Pada saat yang hampir bersamaan, bibiku yang kini berada di Manado, mentransfer uang dua juta rupiah, untuk membantu biaya pernikahanku karena tak bisa pulang. Keesokannya giliran bibiku yang di Cianjur mentransfer satu juta ke rekening. Dan ini diluar perkiraanku, diam-diam kakekku membelikan emas untuk calon istriku.
***
Perasaan haru sesaat sebelum akad nikah, adalah perasaan yang berkecamuk saat aku sudah dijemput untuk melangsungkan ijab kabul. Ada perasaan tak tega, saat harus pisah dari orang tua. Aku begitu tak tega melihat air mata ibu yang menetes perlahan.
“Jadilah suami yang baik,” pesannya sambil memelukku erat. Tahukah kau, perasaan kehilangan yang begitu sangat pada saat itu? Saat aku sudah menikah nanti, aku akan kehilangan satu kesempatan indah setiap pagi, karena tak bisa lagi mengantar ibu ke pasar, berbarengan saat aku berangkat mengajar.
“Nggak usah khawatir, Mama bisa berangkat sendiri ke pasar,” ujarnya sambil menghapus air mata yang menetes di pipiku. Ibuku seakan sudah bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku.
“Sudah, sudah.. nanti kalau nangis terus, gagahnya hilang.” Ibu menguatkanku. Meyakinkanku. Aku mengusap basah yang menetes dipipiku sambil tersenyum.
Sekarang aku sudah tenang. Tak hanya mendapat istri salehah, cantik, dan menyejukkan pandangan, tapi yang patut disyukuri adalah kekhawatiran orang-orang yang menganggapku nekad hilang seiring dimudahkannya jalan menuju proses pernikahan. Semua keluarga, dan tetangga ikut membantu menyukseskan pernikahanku. Semua beban yang awalnya seperti batu menindih pundak tiba-tiba terasa seringan kapas. []
Apa yang salah dengan keputusanku? Aku merasa sudah cukup bekal untuk menapaki kehidupan baru yang jauh lebih bertenaga. Bukan sekedar menikmati suasana damai di pantai, tapi derasnya gulungan ombak samudra, badai, juga mesti aku rasakan, untuk membuatku setegar karang yang terbenam di dasar pulau.
Dua puluh lima tahun menjadi usia paling pas untuk menikah. Jika sudah ada niat, maka langkah apalagi yang harus menghalangi? Bekal berlayar sudah aku persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Sudah tiga kali seminar pranikah aku ikuti. Tekadku, aku tak mau ikut seminar bertema sama untuk ketiga kalinya, kecuali aku tampil sebagai pembicara, dan bukan sebagai peserta lagi.
Kurang apalagi? usia sudah sangat cukup, maisyah sudah ada, mau kapan lagi akan punya ‘Aisyah’? Sudah sedemikian banyak amanah aku dapatkan, apalah lagi yang menghalangiku untuk memiliki ‘Aminah?’ Namun keinginan itu tak semulus apa yang aku impikan. Ada sedikit kerikil di tengah jalan yang perlu aku bersihkan baik-baik. Keputusan untuk menikah dianggap terlalu dini dan mendapat tanggapan dingin dan terkesan meremehkan dari banyak pihak termasuk sebagian besar keluargaku. Mereka menganggap aku belum mapan, hanya melihat karena pekerjaanku sebagai guru, swasta lagi.
“Mapankan dulu karir, baru menikah,”
“Kamu sudah yakin, mau menikah?”
“Menikah itu memelihara anak orang lho, nggak sembarangan,”
“Apa nggak kasihan sama ibu kamu yang pontang-panting cari duit buat bayar hutang dan juga sekolah adik-adikmu?”
Begitu komentar sebagian besar yang sampai di telingaku. Selain karena masih banyak tanggungan, aku masih dianggap sebagai anak yang diandalkan untuk menyetabilkan roda perekonomian keluarga. Beberapa diantaranya membantu menopang kebutuhan keluarga di rumah, mulai dari memasok uang saku adik-adik, bayar listrik, kebutuhan rumah lainnya, dan yang paling terasa adalah membiayai adikku ketika pertama masuk kuliah.
Sehingga kalau menikah, menurut kesimpulan mereka, otomatis akan menambah beban tanggungan biaya yang harus aku keluarkan. Apalagi usaha bapakku semakin kesini, semakin lesu. Penghasilannya tak semaju dulu. Mungkin karena tergerus saingan usaha sejenis yang sudah sedemikian menjamur, ditambah lagi usaha bapakku kurang terobosan. Sehingga sebagai anak pertama, aku turut merasakan pula menjadi kepala keluarga kedua setelah bapakku. Permintaanku hanyalah satu, “Allah, mudahkan aku memperoleh rezeki-Mu, mudahkanlah jodohku. Hadirkan keduanya dengan cara yang tak terduga.”
***
“Mau nggak aku kenalin. Ada seorang akhwat, salehah, cantik, dan siap nikah. Khitbah segera jika tak ingin ada orang lain mengkhitbahnya.” Hanya dalam hitungan hari setelah mengajukan permintaan itu, datang sebuah SMS itu.
Yang mengejutkan, pengirim SMS tersebut, perangainya kurang meyakinkan untuk menjadi mak comblang, lantaran masih kekanak-kanakkan. Aku sempat cuek dan tidak mau ambil pusing. Tapi sms-sms berikutnya terus berdatangan, yang isinya semakin hari semakin provokatif. Dia menyarankan agar aku segera berbuat sesuatu. Entah mengapa dada aku bergetar seperti membentuk getaran yang menyelusup relung jiwa tanpa permisi. Ia berhasil membuatku penasaran!
Di sebuah acara Seminar Pra Nikah, sang provokator itu memfasilitasi kami untuk bertemu. Ini berarti seminar pranikah yang ketiga kalinya. Prediksiku meleset lagi. Huh, aku sendiri heran, momen ini bisa pas mengupas masalah nikah. Ini berarti, untuk ketiga kalinya aku mengikuti seminar bertema sama. Keinginanku untuk stop mengikuti acara semacam ini belum terturutkan. Aku harap itu adalah seminar pranikah terakhir yang aku ikuti.
Kawan, jangan bayangkan pertemuan itu seperti dalam sinetron-sinetron. Bisa saling tatap dalam jarak yang amat dekat, diwarnai perasaan salah tingkah, lalu saling mengulurkan tangan, bersalaman, genggaman erat tangan tak lepas-lepas, dan baru mulai bicara saat disenggol lengannya oleh temannya, karena asyik terlena menggenggam dan menatap wajahnya. Aku tidak senaif itu.
Sesuai rencana, aku berkesempatan melihatnya di akhir acara. Yang aku alami tatkala itu adalah aku sempat menatap sekilas dari jarak sekitar 50 meter. Pertemuan itu pun hanya sekelebatan saja. Hanya dalam hitungan detik, karena saat itu hendak shalat dzuhur dan dia tampak buru-buru mau pulang. Entah, setelah pertemuan kilat itu, hati mendadak seperti magnet yang mengarah padanya: dialah muslimah yang akan menjadi istriku! Keyakinan itu begitu saja tumbuh. Entah datang dari mana, padahal melihat wajahnya saja hanya samar-samar. Lantaran sudah sedemikian yakin, pada kesempatan lain, aku mengusulkan untuk saling bertukar biodata, untuk kemudian berlanjut pada tahapan taaruf, khitbah, lalu nikah.
“Ternyata kau masih muda..” begitu komentarnya saat prosesi taaruf. Fakta baru yang mengejutkan, usianya terpaut 3 tahun di atasku. Aku 25 tahun, sementara ia 28. Dalam hati sempat bertanya-tanya, apakah perbedaan usia akan dipermasalahkan? Mudah-mudahan tidak. Rasulullah Saw saja menikah dengan Khadijah r.a yang usianya terpaut 15 tahun. Berarti perbedaan usiaku dengannya belum apa-apa. “Tapi kau kelihatan dewasa,” lanjutnya lagi.
“Apa keberatan jika menikah dengan yang lebih muda usianya?” tanyaku menyelidik berlagak seperti detektif.
“Bagiku tidak masalah, asal berpikiran dewasa dan siap memimpin keluarga. Dan yang paling penting siap membimbingku meraih surga,” jawabnya mantap. Jika jawabannya sudah begitu, maka nikmat Allah yang manakah yang akan kau dustakan?
Saat kami saling bersepakat untuk menikah, diam-diam terdengar kabar, ada seseorang yang menyesalkan melihat prosesi taaruf kami yang berlangsung sedemikian cepat. Menyesal lantaran ia keduluan temannya ‘yang kurang meyakinkan itu’ untuk menjadi mak comblang, menjodohkan kami. Diam-diam ternyata beberapa temanku merencanakan sesuatu yang sedemikian indah! Alhamdulilah berhasil.
***
Begitu mendengar dia meminta mahar buku tafsir fi dzilalil qur’an karya Sayyid Qutub sebagai mahar, langsung aku memesannya. Padahal saat itu aku sama sekali tak punya uang. Modalku hanya niat. Tanpa aku duga, begitu pesanan sampai, pada hari itu juga aku mendapat buku rekening lewat sekolah yang nominalnya satu setengah juta, dan langsung bisa dicairkan keesokannya. Aku pun langsung mengalokasikannya untuk membayar buku tafsir pesanan itu.
Belakangan menjelang pernikahan, calon istriku menyarankan lagi sebaiknya mahar ada yang berupa harta, entah berupa uang atau perhiasan. Mengingat itu penting, aku menyanggupi meski saat itu aku tak punya uang sama sekali. Di dompet hanya tinggal beberapa lembar ribuan. Ingin memberikan mahar perhiasan, tapi perhiasan itu belum di tangan, karena belum bisa aku pastikan. Maka aku memutuskan untuk memberikan tambahan mahar berupa uang sebesar satu juta rupiah. Gajiku saja jumlahnya segitu kurang sedikit. Pos itu rencananya akan aku ambil pada gajiku di bulan depan, bulan saat pernikahanku berlangsung. Mungkin aku akan minta gajian lebih dulu dari tanggal yang sudah ditentukan. Selebihnya berdoa sekuat tenaga untuk mendapatkan celah rezeki yang datangnya tak terduga.
***
“Sudah lengkap semua yang mau dibawa saat seserahan?” tanya nenekku.
“Kalau perabotan, Insyaallah sudah semua.”
“Bagaimana dengan perhiasan?”
Aku tercekat mendapat pertanyaan itu. Saldo tabunganku sudah menipis. Sebagian besar habis untuk membeli perlengkapan seserahan yang dianggap prioritas, juga untuk biaya yang sifatnya administratif. Barang-barang yang mau dibawa saat seserahan pun tidak sekaligus dibeli, melainkan menyicil setiap bulannya. Dari penghasilan yang aku peroleh, aku menyicil membeli perabotan. Bulan pertama membeli termos, rantang. Bulan kedua membeli rice cooker, bulan ketiga piring, gelas, sendok dan garpu, bulan keempat baju-baju, bulan kelima kompor, dan sebagainya. Hasil menyisihkan tiap bulan, nyaris tak ada alokasi untuk membeli emas, karena minimnya dana.
Tentang emas itu, kepikiran jelas saja. Kata nenekku, paling tidak lima gram dibawa pada saat seserahan. Malu kalau tak bawa, katanya.
Allah… dari mana aku harus dapatkan emas itu? Apakah itu harus? Aku belum ada uang untuk beli perhiasan. Sementara tabunganku di rekening… oh, seratus ribu pun tak sampai.
Saat melamarnya aku hanya bisa membeli sebutir cincin. Kesempatan yang sama saat membeli tafsir sebagai mahar, terulang lagi. Yakni mendapat mendapat uang satu setengah juta tanpa harus lelah mencari, yang setelah aku ketahui ternyata itu adalah tunjangan fungsional yang cairnya selama setengah semester sekali. Alhamdulilah….
Aku sebenarnya tak mempermasalahkan, jika tak bawa seserahan tanpa emas. Aku sudah sampaikan ini pada calon istriku, sudah aku sampaikan juga bagaimana kondisi keluargaku yang berasal dari keluarga sederhana. Ayahku hanya seorang pedagang di perantauan. Ibuku penjual nasi bungkus sarapan di pagi hari, dan keliling jualan gorengan di sore hari. Sementara aku, seorang guru, swasta pula. Penghasilanku tak seperti kebanyakan para pemuda seusia aku yang kebanyakan merantau berdagang martabak, dan bisa memberikan emas bergram-gram dengan barang seserahan super lengkap saat menikah.
Ah, aku tak perlu pesimis menghadapi hal ini. Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Waktu pelaksanaan tinggal beberapa hari lagi. Masih ada kesempatan meminta. Allah… berikanlah kemudahan kepadaku untuk mendapatkan rezeki yang tak terduga. Bukalah celah rezeki yang melimpah itu untukku. Jadikan aku sebagai salah satu orang yang mendapatkan rezeki tak terduga menjelang pernikahanku…
***
Begitu waktu gajian, aku terkejut karena aku menerimanya utuh, tanpa ada potongan untuk angsuran netbook sebesar dua ratus duapuluh ribu. Saat aku konfirmasi, ternyata sudah lunas bulan kemarin. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku melanjutkan perjalanan ke bank untuk membayar angsuran. Sesampai di sana, aku juga heran sendiri, petugas kasirnya bilang kepada aku,
“Selamat, siang Pak. Ada yang bisa dibantu?”
“Iya, Mbak. Aku mau bayar angsuran pinjaman bulan ini.”
“Mohon ditunggu sebentar, pak.”
“Baik.”
“Mohon maaf bapak. Angsuran pinjaman bapak, sudah lunas bulan kemarin,”
Aku melongo dengan kekhilafan aku yang sedemikian akut. Satu hal yang baru aku sadari menjelang pernikahan, ternyata aku sudah melunasi angsuran pinjaman yang setiap bulannya hampir menguras separuh dari tabunganku selama satu setengah tahun. Aku sendiri lupa, ternyata, kemarin adalah bulan terakhir melunasi pinjaman bank yang selama setahun berjalan. Lunas pula angsuran netbook yang ternyata tanpa terasa sudah ke angsuran terakhir juga di bulan yang sama. Tapi setelah dipikir-pikir, keren juga kalau punya penyakit lupa model kayak gini. Terima kasih, Allah…
***
Aku sangat yakin Allah akan mem-back up semua keperluan pernikahanku dari proses awal sampai akhir. Inilah doaku. Semoga ayah, ibu, kakek nenek dan juga semua saudara-saudara aku turut memanjatkan doa yang sama, pada kesempatan yang sama sehingga Allah meluluskan permintaanku.
Menjelang hari bersejarah itu, kenikmatan besar hampir setiap hari aku peroleh. Aku seolah dimudahkan bangun pagi sebelum subuh. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk tahajud. Aku percaya, Allah tak perhitungan memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Subhanallah… sejak memanjatkan doa agar diberikan rezeki tak terduga, setiap harinya aliran rezeki mengalir begitu derasnya. Ada yang memberiku uang 450 ribu secara tiba-tiba. Hari berikutnya aku mendapat proyek mengedit 3 cerpen yang tak lebih dari dua halaman untuk masing-masing satu judulnya, lumayan dapat 50 ribu. Sebagian uang itu aku infakkan pada hari itu juga. Dan langsung mendapat ganti pada hari itu juga 14 kali lipat keesokannya.
Hari berikut dapat honor menulis rilis di koran 70 ribu. Pada saat yang hampir bersamaan, bibiku yang kini berada di Manado, mentransfer uang dua juta rupiah, untuk membantu biaya pernikahanku karena tak bisa pulang. Keesokannya giliran bibiku yang di Cianjur mentransfer satu juta ke rekening. Dan ini diluar perkiraanku, diam-diam kakekku membelikan emas untuk calon istriku.
***
Perasaan haru sesaat sebelum akad nikah, adalah perasaan yang berkecamuk saat aku sudah dijemput untuk melangsungkan ijab kabul. Ada perasaan tak tega, saat harus pisah dari orang tua. Aku begitu tak tega melihat air mata ibu yang menetes perlahan.
“Jadilah suami yang baik,” pesannya sambil memelukku erat. Tahukah kau, perasaan kehilangan yang begitu sangat pada saat itu? Saat aku sudah menikah nanti, aku akan kehilangan satu kesempatan indah setiap pagi, karena tak bisa lagi mengantar ibu ke pasar, berbarengan saat aku berangkat mengajar.
“Nggak usah khawatir, Mama bisa berangkat sendiri ke pasar,” ujarnya sambil menghapus air mata yang menetes di pipiku. Ibuku seakan sudah bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku.
“Sudah, sudah.. nanti kalau nangis terus, gagahnya hilang.” Ibu menguatkanku. Meyakinkanku. Aku mengusap basah yang menetes dipipiku sambil tersenyum.
Sekarang aku sudah tenang. Tak hanya mendapat istri salehah, cantik, dan menyejukkan pandangan, tapi yang patut disyukuri adalah kekhawatiran orang-orang yang menganggapku nekad hilang seiring dimudahkannya jalan menuju proses pernikahan. Semua keluarga, dan tetangga ikut membantu menyukseskan pernikahanku. Semua beban yang awalnya seperti batu menindih pundak tiba-tiba terasa seringan kapas. []
Penulis : Ali Irfan
Penulis B'right Teacher
Guru Sekolah Islam Terpadu MI Luqman Al Hakim Slawi Kabupaten Tegal
Ulasan
Catat Ulasan